Jakarta -
Hong Kong masih bergejolak. Di sisi lain, China memilih enggan melunak.
Gejolak di Hong Kong berawal dari unjuk rasa menolak rancangan undang-undang (RUU) yang mengatur ekstradisi ke China daratan. Aksi ini kemudian meluas menjadi reformasi demokrasi Hong Kong.
Aksi protes yang digelar di Hong Kong pada dasarnya berlangsung damai, namun seringkali disusupi demonstran anarkis dan radikal yang kerap memancing bentrokan dengan polisi. Seperti dilansir
AFP, Kamis (29/8/2019), kepolisian Hong Kong melarang unjuk rasa yang rencananya akan digelar pada Sabtu (31/8) mendatang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Unjuk rasa yang terbaru ini bertepatan dengan peringatan 5 tahun sejak otoritas China daratan menolak reformasi politik di Hong Kong. Penolakan itu memicu gerakan yang dikenal sebagai Umbrella Movement yang berlangsung 79 hari nonstop di Hong Kong.
Larangan ini diumumkan setelah unjuk rasa yang digelar pekan lalu di Hong Kong berujung bentrokan yang disebut sebagai yang terparah dalam rentetan unjuk rasa selama tiga bulan terakhir. Dalam surat kepada Civil Human Rights Front (CHRF), Kepolisian Hong Kong menyatakan kekhawatiran bahwa beberapa demonstran akan kembali melakukan 'aksi sarat kekerasan dan destruktif'.
"Mereka (beberapa demonstran) tidak hanya melakukan aksi pembakaran dan pemblokiran jalan dalam skala besar, tapi juga menggunakan bom molotov, bola besi, batu bata, tongkat panjang, tongkat besi juga berbagai macam senjata rakitan sendiri untuk menghancurkan properti publik dalam sekala besar, merusak ketertiban sosial dan membuat orang lain terluka," demikian sebut Kepolisian Hong Kong dalam suratnya merujuk pada bentrokan sebelumnya.
Langkah yang tergolong langka ini diambil setelah Kepolisian Hong Kong mengerahkan meriam air dan melepas tembakan peringatan untuk mengusir demonstran radikal pada Minggu (25/8) malam waktu setempat.
Menanggapi larangan Kepolisian Hong Kong itu, pihak CHRF -- yang bertanggung jawab atas sebagian besar unjuk rasa di Hong Kong dalam beberapa dekade terakhir -- menyatakan akan mengajukan banding.
"Anda bisa melihat bahwa tindakan polisi semakin meningkat, dan Anda bisa melihat (pemimpin Hong Kong) Carrie Lam pada faktanya tidak berniat untuk membiarkan Hong Kong kembali damai, tapi berupaya menghasut kemarahan lebih banyak warga melalui langkah-langkah keras," cetus pemimpin CHRF, Jimmy Sham, kepada wartawan setempat.
Di sisi lain, pemimpin eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, disebut telah melaporkan lima tuntutan demonstran antipemerintah kepada pemerintah pusat China. Lam juga menyatakan pencabutan rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi yang kontroversial bisa membantu meredakan krisis politik di Hong Kong.
Seperti dilansir Reuters, Jumat (30/8), tiga sumber yang memahami langsung isu ini mengatakan bahwa pemerintah pusat China menolak proposal yang diajukan Lam soal pencabutan RUU ekstradisi. Menurut sumber-sumber itu, Lam diperintahkan untuk tidak tunduk pada tuntutan para demonstran.
Penolakan China terhadap proposal Lam soal cara penanganan
krisis politik di Hong Kong, pertama kali diungkap oleh Reuters. Penolakan semacam ini menjadi bukti konkret soal seberapa jauh China mengendalikan pemerintah Hong Kong, terutama dalam responsnya untuk unjuk rasa besar-besaran.
Pemerintah pusat China mengecam unjuk rasa di Hong Kong dan menuduh ada kekuatan asing yang memicu kerusuhan di sana. Kementerian Luar Negeri China berulang kali memperingatkan negara-negara lain untuk tidak mencampuri urusan Hong Kong, yang disebut sebagai 'urusan internal'.
Disebutkan salah satu sumber yang dikutip Reuters bahwa laporan Lam itu menganalisis bagaimana mengabulkan salah satu tuntutan demonstran bisa meredakan situasi. Laporan itu disusun Lam sebelum rapat di Shenzhen pada 7 Agustus lalu, yang dimaksudkan untuk memeriksa lima tuntutan demonstran.
Lima tuntutan demonstran dalam laporan Lam terdiri dari pencabutan RUU ekstradisi secara permanen, dilakukannya penyelidikan independen terhadap taktik kepolisian dalam bentrokan yang memicu korban luka, menuntut pengampunan untuk demonstran yang ditangkap, menghapus penggunaan istilah 'rusuh' untuk menyebut unjuk rasa dan menggelar pemilu yang sepenuhnya demokratis.
Laporan sebelumnya menyebut
demonstran Hong Kong juga menuntut pengunduran diri Lam serta menuntut hak untuk memilih sendiri pemimpin Hong Kong.
Selain itu, China Daily menyatakan tentara China tidak akan tinggal diam jika situasi di Hong Kong semakin memburuk. Otoritas China menyelesaikan apa yang disebut sebagai rotasi rutin terhadap pasukan Angkatan Udara, Angkatan Darat dan Maritim yang ditugaskan di wilayah Hong Kong. Rotasi ini dilakukan di tengah maraknya unjuk rasa antipemerintah di Hong Kong, yang seringkali berujung rusuh.
Diketahui bahwa satu detasemen Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) dari China ditugaskan di Hong Kong sejak wilayah itu diserahkan oleh Inggris tahun 1997 lalu. Personel PLA di Hong Kong kerap melakukan latihan militer, namun jarang keluar dari pangkalan mereka.
Kemungkinan pengerahan PLA untuk menghentikan unjuk rasa yang masih marak di Hong Kong sempat mencuat. Namun pemerintahan Hong Kong berulang kali menegaskan pihaknya masih bisa mengatasi situasi di wilayahnya.
Para analis memperkirakan bahwa garnisun PLA beranggotakan sekitar 8 ribu - 10 ribu tentara yang ditempatkan terpisah antara pangkalan di China bagian selatan dan pada sejumlah barak yang ada di Hong Kong, yang berstatus Wilayah Administrasi Khusus (SAR).
Namun, dalam pernyataan terbaru seperti dilansir
AFP, Jumat (30/8) sore waktu setempat, pihak penyelenggara unjuk rasa menyatakan mereka tidak akan menggelar aksi massa pada Sabtu (31/8) besok dan mematuhi larangan yang diberlakukan pihak kepolisian.
"Kami tidak memiliki opsi lain, selain membatalkan aksi besok," sebut Bonnie Leung dari Civil Human Rights Front (CHRF) yang pada dasarnya merupakan penyelenggara unjuk rasa damai.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini