PKS menyampaikan kritiknya. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk bersurat ke DPR perihal rencana pemindahan ibu kota.
Mardani menegaskan rencana pemindahan ibu kota bukan hanya domain pemerintah sebagai eksekutif, tapi juga DPR selaku legislatif. Dia menyebut pemindahan ibu kota juga harus disertai berbagai pertimbangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ayo saatnya lalui prosedur dengan benar. Segera buat surat resmi ke DPR disertai naskah akademis dan kajian matangnya. Jangan grasa-grusu," kata anggota Fraksi PKS Mardani Ali Sera kepada wartawan, Kamis (22/8).
Partai Gerindra juga tak terima bila pembahasan soal pemindahan ibu kota tidak melibatkan DPR. Apalagi kemarin sudah ada keterangan dari Menteri ATR/BPN Sofjan Djalil bahwa Kalimantan Timur adalah lokasi ibu kota baru, meski kini Sofjan menyatakan itu hanyalah salah satu alternatif. Yang jelas, menurut Gerindra, DPR perlu dilibatkan.
"Kenapa tidak melibatkan kami dan sebagainya? Ini pelanggaran undang-undang ya yang dilakukan oleh mereka kalau mereka tidak menginformasikan kepada kita (DPR)," kata Anggota Fraksi Gerindra Bambang Haryo dalam diskusi di Kompleks DPR.
Wakil Ketua DPR yang juga dari Gerindra, Fadli Zon, menyarankan agar pemerintah fokus saja untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, hingga utang. Pemindahan ibu kota perlu dikaji dulu, perlu jajak pendapat.
"Kalau perlu diadakan referendum ya, seperti usulan itu, agar ada pendapat masyarakat. Apakah memang perlu pindah ibu kota atau tidak? Jadi jangan mengada-ada, apalagi dalam situasi ekonomi yang seperti sekarang ini," kata Fadli.
Bambang menyebut Komisi V DPR, sebagai mitra pemerintah yang juga berhubungan dengan pemindahan ibu kota, sama sekali tak diajak bicara. Bambang sendiri merupakan anggota Komisi V yang punya ruang lingkup infrastruktur, transportasi, daerah tertinggal, metereologi klimatologi dan geofisika, serta pencarian dan pertolongan.
Fraksi PAN juga mengkritik serupa. Bila pemindahan ibu kota dilakukan tanpa adanya kesepakatan DPR, maka kebijakan tersebut ilegal.
"Kalau sampai saatnya kita DPR ini tidak diajak bicara, maka ibu kota itu, bisa disebut ibu kota Ilegal, karena Pak Jokowi tak bisa (berpendapat sendiri), walaupun presiden, semua yang dilakukan atas perintah UU, baik itu UUD dan turunannya," ucap Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto dalam diskusi di Kompleks DPR.
Fraksi Partai Demokrat menilai pemindahan ibu kota ke Kalimantan bukan perkara mudah. Dia tak ingin hal itu terlalu menyedot banyak biaya sehingga membebani negara.
"70% penduduk tinggal di Pulau Jawa, jangan sampai pemindahan ibu kota ke Kalimantan menambah beban biaya bagi yang 70% penduduk. Jadi kita bahas dulu saja secara terbuka di DPR dan buat jajak pendapat kepada masyarakat," kata anggota Fraksi Partai Demokrat, Herman Khaeron, Jumat (23/8/2019).
Anggota dewan Kebon Sirih tak ketinggalan menyumbang nada sumbang ke dalam irama pemindahan pemindahan ibu kota. Wakil Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Nasrullah tidak setuju bila nantinya ibu kota dipindah ke Kalimantan Timur. Nasrullah menyebut ekonomi Indonesia saat ini masih terpuruk dan membebani anggaran negara.
"Kondisi ekonomi Indonesia lagi terpuruk, beban berat kalau pindah," kata Nasrullah melalui pesan singkat.
Kritik juga datang dari analis ekonomi. Anggota Tim Peneliti Pemindahan Ibu Kota Institut For Development of Economic and Finance (INDEF), Rizal Taufikurrohman. Rizal mengungkapkan, pemerintah sebaiknya mengkaji ulang pemindahan ibu kota. Soalnya, pindahnya ibu kota negara ke Kalimantan tidak berdampak apa pun terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil secara nasional. Pemindahan ibu kota negara sebaiknya dilakukan saat kondisi perekonomian Indonesia sedang stabil.
"Pemerintah ini perlu meninjau ulang rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan. Dari sisi ekonomi, tidak berdampak pada PDB riil nasional dan juga terhadap indikator pembentuknya," tutur Rizal di Restoran Rantang Ibu, Jakarta Selatan, Jumat (23/8/2019).
Di lokasi yang sama, anggota Komite Ekonomi Nasional (KEIN) Mohamad Fadhil Hasan juga angkat bicara. Bedanya dengan Rizal, Fadhil memberikan alternatif terhadap pemerintah. Menurutnya, pemerintah lebih baik menggunakan anggaran pemindahan ibu kota sebesar Rp 485 triliun untuk membangun kawasan ekonomi di daerah-daerah dan juga ditambahkan ke anggaran pembangunan infrastruktur.
"Kalau misalnya pindah ibu kota ini alasannya untuk pemerataan, itu anggaran infrastruktur yang Rp 420 triliun ditambah juga dari anggaran pemindahan ibu kota, juga untuk membangun pusat-pusat ekonomi di daerah-daerah," tutur Fadhil.
Ekonom senior Emil Salim menilai anggaran yang dibutukan untuk pindah ibu kota sangatlah besar. Sebaiknya, duit Rp 420 triliun itu dialokasikan ke proyek lain, yakni pembangunan infrastruktur.
"Untuk infrastruktur, betul Pak Jokowi, saya setuju. Bahkan, kita perlu US$ 1,5 triliun untuk mengatasi kekurangan infrastruktur atau gap infrastruktur dengan negara lain. Kenapa (dana pemindahan ibu kota) tidak digunakan untuk infrastruktur dari pada pindah ibu kota?" sebut Emil.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini