Jakarta - Wacana untuk mengembalikan wewenang
MPR sebagai lembaga tertinggi kembali menghangat. Pengembalian wewenang MPR itu bisa dilakukan dengan
mengamendemen UUD 1945.
Wacana soal kembalinya wewenang tertinggi MPR lewat amendemen UUD 1945 ini bermula dari kekhawatiran Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). JK khawatir bila UUD 1945 diamendemen, Presiden bisa saja kembali dipilih MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Seperti diketahui, saat ini MPR saat ini tengah menggodok penghidupan kembali pembangunan model GBHN lewat amendemen terbatas UUD 1945.
"Itu rumit lagi, berisiko. Banyak perubahan yang rakyat belum tentu setuju. Contoh, presiden dipilih MPR karena lembaga tertinggi. Maka dia berhak memilik presiden. Kalau gitu lain lagi soal," kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2019).
Dia mempertanyakan apakah hal tersebut akan disetujui rakyat. Alasannya, hak rakyat untuk memilih presiden secara langsung bisa hilang jika MPR kembali diberi mandat oleh UUD 1945 untuk memilih presiden dan wapres.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apakah rakyat setuju haknya diambil untuk pemilihan langsung," ujar JK.
Beberapa partai politik turut berkomentar terkait wacana MPR jadi lembaga tertinggi lewat amendemen UUD 1945. Partai Gerindra sepakat dengan JK. Gerindra menyebut wacana pengembalian wewenang tertinggi MPR sebagai kemunduran demokrasi.
"Saya sepakat dengan Pak JK, ditambah lagi soal periode jabatan presiden yang saat ini dibatasi dua kali bisa kembali tak terbatas seperti sebelum reformasi. Hal tersebut berarti kemunduran demokrasi," kata anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Habiburokhman kepada wartawan, Selasa (13/8/2019).
Sementara itu, NasDem mengatakan JK tidak perlu takut dengan rencana amendemen UUD 1945. Nasdem menilai amendemen UUD 1945 tidak mengandung resiko.
"Jangan semua dibuat bayang-bayang takut. Nggak ada risiko itu. Semua berdasarkan kesepakatan politik, selagi semua mengacu pada cita-cita kemerdekaan kenapa mesti takut? Bernegara jangan takut dong," ujar Sekjen NasDem Johnny G Plate, Rabu (14/8/2019).
Sedangkan PPP punya pandangan lain. PPP mengatakan mereka sejak awal mendorong agar materi amendemen UUD 1945 dilemparkan kepada publik.
"Untuk menghilangkan kekhawatiran bahwa amendemen UUD 1945 akan menjadi bola liar yang merambat kemana-mana, maka PPP berpendapat agar seluruh materi atau pasal yang akan diamendemen harus disampaikan terlebih dahulu oleh fraksi-fraksi yang hendak mengusulkan kepada publik," kata Sekjen PPP Arsul Sani kepada wartawan, Selasa (13/8/2019).
Arsul berharap masyarakat turut memberikan masukan terhadap materi amendemen UUD 1945. Selain itu, lanjut dia, juga diperlukan kajian mendalam untuk mengeksekusi amendemen UUD 1945.
"Proses ini perlu didahului baik kajian maupun didorongnya diskursus publik yang luas sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Ini yang menjadi tekanan PPP ketika PPP setuju amendemen tersebut dilakukan. Jadi tidak ada satupun kekuatan politik yang agendanya tersembunyi," ucap anggota Komisi III DPR itu.
Hal berbeda disampaikan PKS. PKS memaklumi kekhawatiran JK soal amendemen UUD 1945. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengibaratkan amendemen UUD 1945 seperti membuka kotak pandora.
"Wajar Pak JK khawatir. Karena ide amendemen seperti membuka kotak pandora," kata Mardani kepada wartawan, Selasa (13/8/2019).
Ia mengatakan tata negara bisa 'jungkir balik' jika amendemen UUD 1945 tidak diawasi penuh. Mardani pun menyinggung soal porsi partai oposisi yang dinilai lemah.
"Jika tidak ada mitigasi risiko, ketatanegaraan kita bisa jungkir balik. Apalagi kekuatan #KamiOposisi masih lemah," ucapnya.
Terkait hal ini, PAN juga ikut berkomentar. PAN menyatakan saat ini usulan mengenai amendemen UUD 1945 tengah dikaji mendalam.
"Kekhawatiran terhadap dampak politik di balik amendemen ini tentu sangat dapat dipahami. Oleh karena itulah, semua fraksi dan kelompok DPD melakukan kajian untuk memetakan aspek apa saja yang perlu diamendemen. Aspek-aspek itu nantinya akan masuk dalam rekomendasi yang saat ini sedang disempurnakan," kata Wasekjen PAN Saleh Daulay kepada wartawan, Selasa (13/8/2019).
Saleh yang juga merupakan anggota MPR itu mengatakan rekomendasi untuk amendemen UUD 1945 belum final. Ia menyebut mereka masih menyusun draf rekomendasi untuk kemudian disahkan dalam sidang paripurna akhir masa jabatan MPR pada September mendatang.
Namun, Ketum Partai NasDem Surya Paloh menilai wacana amendemen UUD 1945 perlu kajian. Paloh menyebut partainya di parlemen akan melihat urgensi dari wacana amendemen tersebut.
"Saya pikir dalam pengkajian, kalau tidak menutup kemungkinan NasDem lihat mana jauh lebih berarti, kita ikut segera lakukan amendemen UUD, kita kembali ke UUD 1945 seutuhnya atau terima model dan sistem demokrasi yang seperti ini dengan segala konsekuensi," kata Paloh setelah menghadiri kuliah umum di Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019).
Sedangkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon punya pendapat sendiri tentang wacana amendemen UUD 1945. Dia meminta agar naskah historis UUD 1945 dikembalikan ke aslinya.
"Kami termasuk yang berkepentingan naskah historis di kembali kan dulu ke aslinya, lalu ada adendum-adendum itu disertakan di dalam proses amendemen itu," kata Fadli di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Jika UUD 1945 dikembalikan ke naskah asli, maka bagian penjelasan harus dikembalikan juga. Menurutnya, penjelasan adalah bagian penting dalam UUD 1945.
"Penjelasan UUD 45 kan dibuang dulu. Dikembalikan dong, itu nggak bisa dipisahkan sebagai naskah historis dari UUD 45 gitu. Tapi waktu perubahan di awal reformasi itu karena euforia penjelasannya dibuang. Padahal penjelasannya sangat penting," tuturnya.
Namun, Fadli mengatakan perlu ada kesepakatan nasional terlebih dulu sebelum amendemen UUD 1945 dilakukan. Kesepakatan yang dimaksud adalah terkait apa saja yang akan diubah dalam UUD 1945.
Lantas, PDIP sebagai salah satu partai yang mengusulkan amendemen UUD 1945, menegaskan usulan sebatas mengembalikan pembangunan model Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
"Adanya haluan negara ini akan tetap disesuaikan dengan ciri khas sistem presidensial pada umumnya, yaitu presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, serta presiden dan wakil presiden memiliki masa jabatan yang tetap dan tidak dapat dijatuhkan hanya karena alasan politik," kata Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah kepada wartawan, Selasa (13/8/2019).
Untuk diketahui, UUD 1945 telah mengalami empat kali amendemen. Amendemen pertama disahkan pada 19 Oktober 1999, amendemen kedua disahkan pada 18 Agustus 2000, amendemen ketiga disahkan pada 10 November 2001. Dan, amendemen keempat disahkan pada 10 Agustus 2002. Soal wewenang MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden itu hilang dalam amendemen ketiga. Sejak amendemen ketiga, istilah soal GBHN juga tak dikenal lagi.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini