Peristiwa itu terjadi pada Rabu (24/7) sekitar pukul 14.00 Wita. Peristiwa penganiayaan itu bermula ketika adik korban yang berusia 2,5 tahun terus menangis dan mengganggu ayah korban, I Komang Ariyasa (33).
"Pada waktu itu anak pelaku nomor 3 menangis rewel, kemudian digendong ibunya untuk diajak tidur, tapi rewel. Karena anak tidak diam-diam, pelaku langsung memukul pakai gantungan baju kawat. Itu adalah alat yang paling biasa digunakan untuk memukul anak-anaknya. Dipukul dia dua kali di punggungnya sampai ibunya berusaha menghalangi, tapi bapaknya kalap," kata Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Bali Titik Suhariyati saat jumpa pers di kantor Dinas Sosial Provinsi Bali Jl Cok Agung Tresna, Denpasar, Bali, Jumat (2/8/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Titik menyebut Komang tak berhenti memukuli anaknya yang menangis. Bahkan Komang juga memukul anak keduanya yang berusia 8 tahun yang tengah menyapu halaman menggunakan gantungan baju berbahan kawat.
"Pada saat menyapu, dipukul dengan hanger kawat sama bapaknya. Nangislah dia sambil menahan sakit. Datanglah si Putu yang berjalan terpincang-pincang menuju meja makan. 'Ini lagi, Bapak nggak suka punya anak pincang, lebih baik mati' sambil dibanting ke lantai dan memukulnya di bagian kepala sebanyak dua kali, perut satu kali, dan menjewer telinganya," jelas Titik.
Komang terus menganiaya anak pertamanya sambil memaki-maki. Meskipun anaknya sudah meringis kesakitan, Komang tak juga berhenti menganiaya.
"Dia jatuh sampai dia kencing, mungkin saking sakitnya. 'Saya lebih baik mati daripada punya anak pincang', sambil memukul pinggang," ucap Titik sambil menirukan pernyataan Komang.
"Korban juga dipaksa bangun, tapi tidak bisa, sambil kesakitan. Bapaknya lihat, 'lo, kok patah', terus minta tolong tetangganya pinjam uang untuk bayar BPJS supaya bisa ke Sanglah," imbuhnya.
Titik mengaku mendapat laporan penganiayaan itu dari salah satu kerabat korban. Dari situ dia langsung berkoordinasi dengan kepolisian untuk menindaklanjuti.
"Ibu korban sempat ragu-ragu untuk melapor karena, kalau dianiaya, kan pengobatan tidak bisa ditanggung BPJS. Selain itu, dua anaknya yang lain masih di bawah pengawasan suaminya di rumah, dia kangen anak-anaknya. Tapi di satu sisi suaminya reaktif sekali," terang Titik.
Setelah dibujuk, ibu korban akhirnya mau melaporkan suaminya ke polisi. Pemeriksaan awal diketahui bahwa Komang bersikap kasar sejak anak pertamanya berumur 2 tahun.
"Menurut pengakuan ibunya, sejak anak usia 2 tahun sudah sering dipukuli. Pada saat usia 5 tahun pernah dilempar sehingga itu awal kepincangan dia, kemudian dua tahun lalu ada tumor. Tumor inilah yang membuat tulangnya lemah, kakinya semakin mengecil, semakin sempurnalah pincangnya itu," bebernya.
Bukan hanya anak-anaknya, istrinya juga kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Komang disebut kerap memukul istrinya saat sedang emosional atau karena ditagih debt collector.
"Istrinya tunjukin bekas sundutan rokok. Ada juga bekas luka senapan karena suaminya juga servis senapan. Si Komang ini temperamennya selalu naik di saat tanggal tua, saat peristiwa itu tanggal 20-nya debt collector datang ke rumahnya," ucapnya.
Saat ini PT masih dirawat di salah satu rumah sakit di Denpasar. Selain kekerasan fisik, PT diduga mengalami trauma.
"Anak ini sudah nggak mau pulang ke Manggis. Dia mau pindah dan tinggal sama siapa saja karena dia sangat tertekan di-bully pincangnya dia di sekolah," terangnya.
LPA Bali juga sempat memikirkan biaya perawatan PT yang diprediksi mencapai Rp 70-100 juta, karena tidak ditanggung BPJS. Untuk mendampingi kasus ini, LPA Bali juga menggandeng LPSK, Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali, serta LSM pemerhati anak.
"Khusus kasus ini, sekali lagi, kita turut berduka. Saya kira karena ini jadi perhatian kita. Insyaallah, Senin (5/8) rapat paripurna pimpinan LPSK bertujuh memutuskan salah satu permohonan ini jadi prioritas kita," kata Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution. (ams/zak)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini