"Akan kami laporkan ke Bawas MA karena siapa yang bisa memeriksa hakim. Kami pada dasarnya tidak bisa pakai cara-cara di luar hukum, kalau mungkin kawan-kawan tahu cara-cara di luar hukum, barbar. Kami tidak mau pakai cara demikian," kata Oky di PN Jaksel, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, Selasa (30/7/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Oky, mestinya frasa 'atau' dalam PP 92/2015 itu dapat dipertimbangkan hakim praperadilan sebagai dasar mengabulkan permohonan ganti kerugian. Sebab frasa 'atau' itu dalam KBBI dan pendapat ahli Prof Maria Farida Indrati, bermakna 'dapat memilih'.
Dia mengaku baru menerima salinan putusan pada 25 Maret 2019, sementara permohonan praperadilannya baru diajukan pada 21 Maret 2019. Dengan demikian, Oky berpendapat harusnya permohonannya dapat diterima.
"Berdasarkan buku Prof. Maria Farida yang mengatakan kalimat 'atau' tuh alternatif, bisa memilih. Maka seharusnya kami para pemohon bisa diterima ajuannya. Karena kami baru menerima salinan putusan tanggal 25 Maret 2019. Tiga bulan dari 25 Maret adalah Juni, masih termasuk. Maka harusnya bisa," ujarnya.
Diketahui, permohonan ganti rugi korban salah tangkap empat pengamen Cipulir ditolak hakim praperadilan. Hakim menyatakan permohonan tersebut kedaluwarsa.
Keempat pengamen Cipulir korban salah tangkap sebelumnya mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Keempat pengamen itu minta gugatan ganti rugi dengan total Rp 750,9 juta.
Keempat pengamen korban salah tangkap itu adalah Fikri, Fatahillah, Ucok, dan Pau. Mereka menggugat Kapolda Metro Jaya, Kajati DKI Jakarta, dan Menteri Keuangan RI untuk meminta ganti rugi karena menjadi korban salah tangkap.
Simak Juga 'Akibat Salah Tangkap, Pengamen Cipulir Rugi Rp 139 Juta':
(yld/knv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini