Jakarta - Polri melarang keras adanya unjuk rasa di
Mahkamah Konstitusi (MK). Secara tegas, Polri menyatakan akan membubarkan massa jika tetap menggelar aksi di gedung MK.
Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Purnomo menyatakan larangan unjuk rasa ini berlaku hingga selesainya pembacaan putusan sengketa
Pilpres 2019 pada Kamis (27/6) nanti.
"Kita kan sudah punya protap, tahapan-tahapannya, pada intinya kita melarang kegiatan massa yang berada di depan MK sampai dengan nanti putusan sidang MK. Termasuk juga yang ada di KPU, kecuali memang undangan-undangan yang akan hadir di lokasi, baik itu di MK maupun di KPU. Kalau memang ada datang, kita mengimbau mereka membubarkan diri, ada tahapan-tahapan dan proses SOP untuk mengantisipasi ini," kata Gatot di kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa (25/6/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Polri melarang adanya aksi di sejumlah objek vital yang memiliki potensi kerawanan seperti di gedung KPU, Bawaslu, dan kompleks DPR/MPR. Dia mengatakan aksi ini bisa mengganggu keamanan dan ketertiban umum.
Gatot meminta masyarakat memahami kebijakan itu. Polri tidak akan memberi toleransi. Dia mengaku tidak ingin insiden kerusuhan pada 21-22 Mei 2019 terulang.
Polri tak menghendaki bila aksi-aksi nantinya disusupi oknum tertentu sehingga terjadi kerusuhan yang bisa merugikan kepentingan masyarakat banyak.
"Kita ingat ada insiden 21-22. Kita sudah lakukan toleransi, tapi ada pihak tertentu, oknum tertentu, yang berakhir terjadinya kerusuhan. Itu kan, makanya kita tidak ingin terjadi. Kita mengimbau ke seluruh komponen masyarakat kegiatan seperti di MK dan kegiatan lain itu kan disiarkan langsung oleh teman-teman media.
Nonton saja dari rumah. Kegiatan ini kita serahkan sesuai konstitusi ke hakim Mahkamah Konstitusi. Kemudian di KPU berjalan dengan aman dan lancar sesuai dengan SOP tentunya," jelas Gatot.
Hingga hari ini, Polri belum menerima surat permohonan izin untuk keramaian. Polri menyatakan bisa membubarkan aksi bila tak mengantongi surat tanda terima pemberitahuan (STTP).
"Ya, Polda Metro tentunya akan menyampaikan kepada korlap (koordinator lapangan) untuk tidak melaksanakan giat di depan MK, karena dapat mengganggu jalannya persidangan atau tahapan di MK," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo, Selasa (25/6).
"Apabila tidak mengindahkan, maka sesuai Pasal 15 UU Nomor 9 Tahun 1998, aparat kan dapat membubarkan, karena Polda Metro sudah mempersiapkan dan fasilitasi tempat di sekitar Patung Kuda," imbuhnya.
Sementara itu,
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan siapa pun yang membuat rusuh saat putusan sengketa Pilpres 2019 di MK akan menjadi musuh bersama. Tito menyebut, berdasarkan hasil survei, masyarakat tidak menghendaki kerusuhan terjadi.
"Peristiwa kemarin, 21 dan 22 Mei 2019, masukan yang saya dapat dari survei justru masyarakat tidak menghendaki adanya kerusuhan, kekacauan, dan lain-lain. Masyarakat Jakarta tidak menghendaki. Jadi, siapa yang membuat rusuh, itu akan menjadi musuh masyarakat," kata Tito di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (25/6).
Tito mengingatkan massa yang akan berunjuk rasa menjelang ataupun saat sidang putusan sengketa Pilpres 2019 agar tetap menaati peraturan. Dia menyatakan akan menindak tegas para pengunjuk rasa yang melanggar, termasuk pihak ketiga.
"Saya tentunya mengharapkan bagi yang unjuk rasa, ingat aturan-aturan itu. Kalau ada yang mengganggu ketertiban publik, jalan umum, hak asasi orang lain, mengganggu persatuan dan kedamaian, menghujat, menyampaikan sesuatu yang palsu atau
hoax kebencian dan lain-lain, kita akan tindak kalau itu di langgar," ucap Tito.
Tito mengatakan bersama Panglima TNI
Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sudah memerintahkan semua anggota TNI-Polri yang melakukan pengamanan tidak menggunakan peluru tajam. Namun peluru karet bisa digunakan seandainya terjadi kericuhan.
"Nanti kalau ada apa-apa, ada peluru tajam, pasti bukan dari TNI-Polri karena sudah tegas saya dan Pak Panglima sampaikan tidak ada yang bawa peluru tajam. Maksimal peluru karet, itu pun teknisnya ada dan kita akan berikan
warning sebelumnya," sambung Tito.
Sebelumnya diberitakan, PA 212, GNPF, dan sejumlah organisasi lain berencana menggelar aksi di sekitar MK. Rencana aksi kawal MK pada 28 Juni sudah teragendakan dan merupakan satu rangkaian aksi.
"Untuk masalah aksi, kami sudah fokus beberapa hari yang lalu sebelum pengumuman putusan sidang yang dimajukan tanggal 27 Juni, kami, khususnya PA 212, memang ambil bagian sebagai pelaksana aksi tanggal 26 Juni sebagai puncaknya yang sebelumnya sudah dirangkai dengan aksi pada tanggal 14 Juni, 18 Juni, sampai sekarang," sebut juru bicara PA 212 Novel Bamukmin, Selasa (25/6).
"Karena rangkaian kegiatan aksi kami sudah teragendakan dari tanggal 14 Juni sampai tanggal 28 Juni," imbuh Novel.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini