Pernyataan tersebut disampaikan Dewan Pendidikan Tulungagung, yang menyoroti sejumlah persoalan pada PPDB tingkat SMP dan SMA dengan sistem zonasi. Sistem itu dinilai menghalangi hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Ketua Dewan Pendidikan Tulungagung Supriyono mengatakan, selama seleksi calon siswa baru pihaknya telah menerima banyak keluhan dan pengaduan masyarakat. Menurutnya, masyarakat menilai sistem zonasi kurang berpihak pada warga yang tinggal di pinggiran atau jauh dari sekolah-sekolah unggulan.
"Permasalahannya yang paling mendasar, ketidakadilan itu terjadi terhadap anak-anak karena fasilitas lembaga pendidikan di pinggiran itu jauh dengan fasilitas dan kualitas dari lembaga pendidikan di kota," kata Supriyono, Kamis (20/6/2019).
Menurutnya, dalam keluhan itu kebanyakan masyarakat tidak masalah jika tidak diterima sekolah di wilayah kota. Namun mereka meminta fasilitas maupun sarana dan prasarana pendidikan di sekolah pinggiran juga disetarakan.
"Diakui atau tidak fasilitas pendidikan di kota dan di pinggiran pasti beda. Nah mereka minta kualitas lembaga pendidikan yang ada di pinggiran di Sendang, Pagerwojo Pucanglaban disetarakan dulu dengan SMP 1,2 dan 3 Tulungagung. Mereka kecewa, mereka juga bayar pajak," ujarnya.
Pria yang juga menjabat Ketua DPRD Tulungagung itu menambahkan, apabila kesetaraan kualitas pendidikan perkotaan dan pedesaan belum setara, namun sistem zonasi tetap dijalankan dengan komposisi 90 persen, itu akan mencederai masyarakat. Sebab ada hak untuk mendapat pelayanan pendidikan yang baik sesuai amanah Undang-undang Dasar 1945.
Pihaknya menyebutkan, komposisi aturan zonasi saat ini idealnya adalah 60 persen berdasarkan zona lingkungan sedangkan 40 persen dari jalur prestasi. Namun kenyataannya porsi untuk jalur prestasi sangat kecil hanya 5 persen dari total pagu.
Baca juga: Menyikapi Zonasi PPDB Secara Bijak |
"Kalau ada kekhawatiran terhadap hal-hal yang tidak diinginkan (jual beli bangku) ya tergantung sistemnya," lanjut Supriyono.
Menurutnya, sistem zonasi yang saat ini dilaksanakan memiliki tujuan yang sangat baik. Salah satu agar sekolah-sekolah pinggiran juga mendapatkan input siswa yang memiliki nilai tinggi. Namun dalam praktiknya justru berbeda dan menimbulkan polemik serta persoalan di masyarakat.
"Sebetulnya sekolah pinggiran itu tetap bisa dapat siswa dengan kualifikasi nilai yang baik. Asalkan sekolah di kota itu secara konsisten dibatasi jumlah pagu dan rombelnya," kata Supriyono.
Ia khawatir, pembatasan dengan sistem zonasi akan mengurangi semangat belajar para siswa. Sebab tanpa memiliki nilai bagus tetap bisa sekolah di sekolah favorit asalkan dekat dengan lokasi rumah. (sun/bdh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini