"Nggak keberatan saya. Karena begini, karena konteksnya berbeda. Feri Amsari juga konteksnya beda. Nah kalau saya bicara soal Pilpres tapi 2014 tapi konteksnya beda ya dengan yang sekarang," kata Bivitri di kantor Formappi, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (13/6/2019).
Bivitri menegaskan, meski berbeda konteks, ia tidak keberatan. Sebab, menurutnya, asalkan mencantumkan sumber dengan jelas, hal itu tidak akan dipersoalkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bivitri mengatakan, pada Pilpres 2014, dia menulis terkait MK akan jarang memutus mengenai pelanggaran pemilu terstruktur, sistematis, dan masif. Pernyataan itu dimuat di media cetak pada kolom opini pada 2014.
"Jadi dulu saya tahun 2014, lima tahun yang lalu perkara Pilpres 2014 nulis di Kompas cetak waktu itu saya bilang bahwa MK itu akan sangat jarang memutus kecurangan yang terkait dengan TSM. Bukannya mustahil karena sudah pernah sejarahnya di 2010 Kota Waringin Barat, tapi waktu itu saya bilang susah mendalilkannya di MK, sedikit sekali yang dikutip," imbuhnya.
Sementara itu, Ketua KoDe Inisiatif Veri Junaidi mengaku juga tidak keberatan pernyataannya dikutip dalam materi gugatan Prabowo-Sandi. Pernyataan yang dikutip itu terkait pernyataannya di buku yang ditulis mengenai MK bukan Mahkamah Kalkulator.
"Nggak apa-apa. Secara teori memang saya nggak membantah, memang MK itu memang bukan Mahkamah Kalkulator. Yang saya sampaikan sejak 2011-2012 saya riset bagaimana kedudukan Mahkamah Konstitusi. Judul buku saya memang 'MK Bukan Mahkamah Kalkulator'. Jadi memang nggak ada guna juga saya akan membantah saya menulis 'MK Bukan Mahkamah Kalkulator'," kata Veri.
"Hanya saya untuk kemudian sampai pada 'MK Bukan Mahkamah Kalkulator' harus disertai dengan bukti bukti fakta-fakta yang nanti memang harus dibuktikan di persidangan sehingga pada akhirnya MK bukan Mahkamah Kalkulator," sambung Veri.
Veri mengatakan kubu 02 harus membuktikan dalilnya yang menyatakan unggul dari paslon 01 Jokowi-Ma'ruf Amin. Menurut Veri, dokumen C1 yang dijadikan bukti harus dapat membuktikan adanya selisih suara secara konkret.
"Yang tidak mereka buktikan adalah selisih versi mereka kira-kira dapatnya dari mana. Mestinya C1 yang mereka kumpulkan itu harus mendalilkan jadi bukti kesalahan hitung itu harus didasarkan C1. Itu yang tidak dilakukan. Itu yang jadi informasi parsial," kata Veri.
Dalam permohonannya, tim hukum Prabowo mengatakan ada dugaan kecurangan karena jumlah suara Prabowo-Sandi di suatu TPS hanya nol. Menurut Veri, hal itu bisa saja terjadi, misalnya di Papua, yang memakai sistem noken.
"Soal kemudian yang menang 0 sampai 100 persen memang itu juga di sengketa 2014 itu juga muncul, tapi harus dicek lagi apakah kejadiannya di Papua. Papua dengan sistem noken sangat penting 100 persen diberikan pada siapa. Dulu 2014 waktu didalilkan 0 untuk Prabowo ternyata kejadian juga untuk Jokowi," ungkap Veri.
Simak juga video Menhan: Belum Terlihat Pergerakan Massa Jelang Sidang Gugatan di MK: