"Semua pendapat ahli di media itu tidak bisa dikategorikan sebagai alat bukti keterangan ahli," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono saat berbincang dengan detikcom, Rabu (12/6/2019).
Pengamat asing yang dimaksud seperti guru besar Universitas Melbourne Prof Tim Lindsey serta kandidat doktor dari Australian National University Tom Power. Prabowo juga mengutip pendapat para ahli dari dalam negeri, seperti Saldi Isra (kini jadi hakim konstitusi), Refli Harun, Bayu Dwi Anggono, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu sesuai dengan Pasal 38 ayat 1 Peraturan MK 4/2018, yang berbunyi:
Para pihak, saksi dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan Pasal 40 ayat 2 berbunyi:
Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Mahkamah sebelum memberikan keterangannya.
Adapun pasal 42 berbunyi:
Saksi dan ahli yang dipanggil wajib hadir untuk memberikan keterangan
"Setelah nama-nama ahli disetujui oleh MK, maka ahli wajib dihadirkan dalam persidangan. Dan selama ini MK mewajibkan sebelum ahli didengar keterangan ahli wajib membuat keterangan tertulis. Sesaat sebelum didengar keterangannya di muka persidangan MK, ahli wajib disumpah/janji sesuai agama masing-masing," Bayu menegaskan.
Salah satu pandangan pengamat asing yang dikutip adalah pandangan Tom Power di konferensi tahunan 'Indonesia Update' di Canberra, Australia, pada September 2018. Tom Power menyoroti hukum kembali digunakan oleh pemerintahan Jokowi untuk menyerang dan melemahkan lawan politik.
"Proteksi hukum juga ditawarkan sebagai barter kepada politisi yang mempunyai masalah hukum," ujar Tom Power yang dikutip Bambang Widjojanto dari link berita eastasiaforum.org.
Proteksi lain menguatnya lagi pemikiran dwifungsi militer. Hal-hal tersebut bagi Tom Power, kata BW dkk, adalah beberapa karakteristik otoritarian Orde Baru yang diadopsi oleh pemerintahan Jokowi.
Sebagai bukti pandangan itu, tim hukum Prabowo menyertakan dua link berita, yaitu 'Jokowi's authoritarian turn' dan 'Jokowi's Authoritarian Turn and Indonesia's Democratic Decline'.
"Mengenai karakteristik pemerintahan Jokowi mirip Orde Baru sekaligus menjelaskan bagaimana modus kecurangan pemilu di era otoritarian tersebut juga dilakukan oleh paslon 01 yang juga presiden petahana Jokowi, yaitu strategi pengerahan ABG yang di era Orde Baru adalah poros ABRI-Birokrasi-Golkar. Modus ini di era pemerintahan Jokowi bereinkarnasi menjadi tiga poros pemenangan, yaitu Aparat-Birokrasi-BUMN-Partai Koalisi," tegas BW dalam halaman 38.
Tonton video TKN Minta MK Tolak Perbaikan Gugatan Kubu Prabowo:
(asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini