"Kalau wajar tidak pernah diautopsi. Kalaupun tidak wajar atas permintaan keluarga melihat ini tidak wajar dan harus melalui polisi. Polisi menentukan diautopsi atau tidak, karena kami tenaga kerja kesehatan jika ada permintaan dari polisi begitu. Jadi tidak semua diautopsi," kata Nila usai acara Kemenkes Hari Peringatan Malaria Sedunia 2019 di Desa Budaya Kertalangu, Denpasar, Bali, Senin (13/5/2019).
Jawaban itu disampaikan Nila terkait adanya desakan untuk melakukan autopsi pada petugas KPPS yang meninggal. Nila menegaskan tindakan autopsi tak perlu dilakukan jika korban mempunyai riwayat sakit kronis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya tidak setiap meninggal semuanya diautopsi. Kalau anda curiga meninggalnya aneh, mungkin bisa meminta (autopsi), tapi kalau memang ada riwayat sakit jantung, kemudian umurnya sudah tua, memang kerjanya keras kemudian kita lihat dia kelelahan dan sebagainya, pemicunya ada ya mungkin tidak perlu," urai Nila.
Dia menyebut pihaknya memiliki dua jenis audit yaitu audit medik dan audit verbal. Bedanya audit medik dilakukan di rumah sakit sementara audit verbal dilakukan bagi petugas yang meninggal di rumah.
"Yang masuk rumah sakit itu namanya audit medik karena kita punya catatan itu bukan sekedar nama, umur atau perempuan kita tanya tentu riwayat penyakitnya yang jelas di situ. Artinya kita data dengan resiko penyakitnya ada. Tentu dokter pasti sudah berusaha menolong tapi keadaan misalnya mempunyai serangan jantung atau agak sulit dan Meninggal itu memang bisa terjadi kita tidak bisa menolong lagi. Itu audit medik, semua laporannya ada, rumah sakit harus melaporkan kalau ada yang meninggal sebabnya apa," paparnya.
"Kemudian, kalau meninggal di rumah itu nggak ada kan catatannya. Jadi juga rutin melakukan autopsi verbal itu karena semuanya ada aturan, Kemendagri dengan Kemenkes, Kemendagri harus mengetahui kalau penduduknya meninggal sebabnya apa saja," sambungnya.
Dari catatannya hingga saat ini penyebab kematian para petugas KPPS mayoritas disebabkan oleh penyakit jantung hingga stroke. Menurut Nila, riwayat penyakit itulah yang menyebabkan banyak petugas meninggal usai bertugas di Pemilu 2019.
"Kita tahu yang meninggal itu saya sih mendapat data dari beliau yang terbanyak itu 18, 10 yang di rumah itu ternyata gagal jantung, sudden death, dada kita sakit, dan nggak cepat beri pertolongan atau kita beri pertolongan tapi semua otot jantungnya melembek itu nggak tertolong, stroke. Sakit liver yang sudah parah dia akan muntah darah, meninggal itu pecah pembuluh darahnya," urai Nila.
Saat ini pihaknya sudah menugaskan para Dinkes di seluruh Nusantara untuk melakukan audit. Sehingga jelas faktor kematian para petugas KPPS tersebut.
"Kami tidak merekomendasi kami hanya membantu melaporkan meninggalnya begini. Audit medik sedang kami kumpulkan seluruh Indonesia melalui Dinkes. Resiko, kita kan nggak tahu sebelumnya dia punya sakit nggak, hipertensi nggak, tapi yang dirawat tidak meninggal hipertensi banyak banget, umur tua, dan sebagainya," tuturnya.
Sebelumya Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi agar makam jenazah anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia dibongkar menuai kontroversi. Usulan ini awalnya dicetuskan karena BPN menilai ada yang janggal karena banyaknya jumlah petugas yang meninggal.
"Kami mengusulkan kemarin kalau dipandang perlu maka seluruh jenazah yang meninggal misterius karena kami tidak mendengar secara detail penyebabnya apa secara medis, maka jika perlu semua jenazah itu dibongkar untuk dilakukan autopsi. Supaya tidak ada kecurigaan di antara masyarakat," kata anggota BPN Prabowo-Sandi, Mustofa Nahrawardaya di gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (3/5).
Per Jumat (3/5), tercatat ada 469 petugas KPPS dilaporkan meninggal dunia. Sementara petugas yang sakit ada 4.602 orang.
Simak Juga 'Ratusan Petugas KPPS Meninggal Jadi Sorotan':
(ams/jbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini