"Menurut saya, untuk kabinet Pak Jokowi yang akan datang, prioritas kita itu rekonsiliasi nasional, jadi yang namanya profesionalitas atau kompetensi itu memang tidak boleh diabaikan karena keterwakilan tanpa kompetensi kan bahaya juga bagi jalannya pemerintahan dan bahaya bagi terlaksananya pelayanan masyarakat. Jadi saya mengusulkan untuk kabinet Pak Jokowi 2019-2021 kalau memang menang, atau dua-duanyalah, mau Pak Jokowi, Pak Prabowo, itu semua partai yang ada itu masuk kabinet. Jadi kabinet rekonsiliasi total," kara Qodari saat dihubungi, Kamis (9/5/2019).
Baca juga: Titik Terang Reshuffle Kabinet |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, perolehan suara signifikan itu membuat polarisasi di masyarakat semakin tajam sehingga perlu ada rekonsiliasi nasional dan total.
"Jadi untuk meredam jangan sampai situasi kondisi yang makin lari ujung ke ujung ini, makin ke kanan-ke kiri makin jauh. Menurut saya, mau provinsi kecil-besar, inti cerita dari Pilpres 2019 ini adalah polarisasi yang makin jauh dan tajam. Jadi tema utama kita pasca-pilpres ini bagaimana merangkul berbagai kalangan jangan sampai pecah atau bubar. Saya melihat ada sekat yang makin tinggi di antara anak bangsa ini dan itu harus dicarikan solusinya bersama-sama," tuturnya.
"Kita kali ini ngomong prioritas kita adalah persatuan bangsa. Kalau dulu harus profesional jangan dari partai, kalau bisa semua partai masuk, jangan juga membaca demokrasi dalam kondisi normal, harus ada oposisi (misalnya), harus ada kontrol. Nggak lah. Kali ini nomor satu itu bukan kontrol tapi persatuan dan kesatuan bangsa. Oposisinya nanti jalan secara fungsional. Kedua, dari media massa kontrolnya juga akan jalan. Jadi siapa pun yang terpilih, saya usul ada kabinet rekonsiliasi nasional supaya merekatkan yang selama ini menjauh, menjahit kembali ke kebangsaan kita yang seperti tertarik selama masa pilpres," imbuh Qodari.
Adapun wacana Qodari menyoroti apa alasan Jokowi membuat wacana reshuffle di ujung periodenya. Qodari membaca ada 3 faktor yang membuat Jokowi mewacanakan reshuffle kabinet, di antaranya karena faktor kinerja, masalah hukum, hingga akomodasi politik.
"Kalau kita bicara variabel kinerja, saya lihat sudah tidak terlalu relevan lagi untuk mengganti menteri, pada saat seperti ini, karena dari sekarang bulan Mei menuju berakhirnya kabinet di bulan Oktober yang akan datang itu tinggal 5 bulan saja, tidak akan terlalu efektif untuk mengganti menteri dengan alasan kinerja. Karena menteri baru begitu masuk sebagai menteri pasti memerlukan waktu yang tak singkat untuk bisa memahami masalah yang dihadapi kementerian," ujarnya.
Qodari menambahkan, jika poin kedua menjadi alasan Jokowi melakukan reshuffle karena kasus hukum, hal itu lumrah. Sebab, dalam membangun pemerintahan, sosok yang duduk di kursi kabinet harus lepas dari masalah hukum pribadi.
"Nomor tiga menarik, menurut saya dinamika situasi sekarang memang membuka peluang terjadinya akomodasi politik berupa reshuffle kabinet. Kita tahu bahwa ada dua koalisi pilpres kemudian ada partai di salah satu koalisi yang mungkin bergeser dukungan politiknya, pada titik ini kemudian reshuffle kabinet menjadi instrumen untuk melakukan konsolidasi politik baru dan memang kita terlalu mengatakan kabinet harusnya orientasinya kerja, tapi kita juga tak bisa naif namanya kabinet merupakan instrumen konsolidasi politik untuk menguatkan dukungan politik," ucapnya.
Simak Juga "Korupsi Menteri dan Isu Resuffle Kabinet":
(idn/aan)