"Kami dari Komnas HAM melakukan proses pemantauan ini karena pemilu ini berkaitan dengan hak konstitusional warga negara yang berkaitan erat dengan HAM. Yang menjadi fokus kami adalah hak pilih itu sendiri, kedua berkaitan dengan isu diskriminasi ras dan etnis, lalu berkaitan juga dengan kemurnian suara," kata Wakil Ketua Komnas HAM Hariansyah di kantornya, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/4/2019).
Komnas HAM menemukan masih ada masalah penggunaan hak pilih terutama masyarakat yang belum mempunyai e-KTP. Kelompok masyarakat tersebut sejauh ini baru difasilitasi suket bila sudah melakukan perekaman e-KTP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi seluruh pemilih itu setara. Ketika dia sudah memenuhi syaratnya. Nah Indonesia itu saat memilih itu dari seorang pemilih itu adalah dewasa, sudah berusia 17 tahun, UU lain 18 tahun mengatakan, dan tidak mengalami gangguan. Nah syarat pemilih itu hanya itu. Yang lainnya adalah syarat administratif yang merupakan kewajiban negara untuk menyediakannya. Nah inikan dibalik-balik. E-KTP itu kewajiban negara, supaya warga bisa menggunakan haknya. Bukannya dia nggak punya e-KTP dia nggak bisa milih," ucap Koordinator Subkomisi Penegakan HAM/Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan, Amiruddin, di lokasi yang sama.
Komnas HAM melakukan pemantauan di Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Selain menemui penyelenggara pemilu, Komnas HAM juga memantau lapas, rumah sakit, dan permukiman warga.
Berdasarkan standar hak asasi internasional, setiap warga punya hak untuk memilih. Sebab pemilu menentukan kebijakan bagi masa depan setiap warga negara. Komnas HAM menyoroti soal lapas-lapas yang belum difasilitasi untuk pemungutan suara.
"Ada pandangan bahwa HAM itu selalu perspektif nominal mempengaruhi hasil akhir pemilu itu menjadi bahan pertimbangan, karena itu, misalnya orang-orang yang di lapas dia akan susah untuk bisa memilih, sementara DPT kita sekian ratus juta, ini nggak dianggep, karena itu kita nggak terlalu serius mengurusi yang sekian itu. Padahal HAM itu satu orang itu adalah pelanggan hak asasi," kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik.
Sementara hasil pemantauan di Sulsel, Komnas HAM menemukan satu daerah yang tidak mendapat sosialisasi pemilu hingga alat peraga kampanye. Penyebabnya, daerah tersebut merupakan lokalisasi masyarakat penderita kusta.
"Artinya petugas dari KPU, PTS, KPPS, itu seperti enggan untuk sosialisasi ke daerah tersebut karena takut atau ada stigmatisasi terhadap penderita kusta. Ini jumlah bukan puluhan, tapi ratusan, karena ada beberapa lokalisasi masyarakat kusta, meskipun itu sebenernya berbaur dengan mayarakat yang lain," ucap komisioner bidang Pendidikan dan Penyuluhan, Beka Ulung Hapsara.
Tonton juga video Kata Komnas HAM Soal Kasus Penculikan 98:
(jbr/hri)