Limbah itu menumpuk di saluran irigasi hingga setinggi 80 cm sehingga mengahalangi air mengalir. Tidak hanya warga Desa Sraten, warga di Desa Jenangan, Panjeng dan Sedah juga mengeluhkan hal serupa. Para petani menggunakan saluran irigasi yang sama.
"Desa Sraten luas lahan 80 Ha, Jenangan 30 Ha, Panjeng 30 Ha dan Sedah 20 Ha," tutur Kepala Desa Sraten Edi Purnomo (38) saat ditemui detikcom, Kamis (21/3/2019).
Menurut Edi, lahan di Desa Sraten memang paling luas dampaknya. Karena warga mengandalkan pengairan dari saluran irigasi. Namun sejak usaha pengolahan pasir yang membuang limbahnya ke saluran irigasi membuat petani mengeluh.
"Kalau ada pasirnya campur dengan air, warnanya jadi pekat membuat tanaman tidak sehat, cabe mati, anakan padi sulit tumbuh," terang Edi.
Edi menambahkan pihaknya pun sempat melakukan kerja bakti bersama 200 orang warganya untuk membersihkan sedimentasi. Namun hanya 400 meter saja yang bisa dibersihkan.
"Padahal total ada 3 km saluran irigasi yang harus dibersihkan," papar dia.
Menurut Edi limbah pasir ini tidak akan separah ini jika para pelaku usaha pencucian pasir dalam mencuci pasir tambangnya tidak menggunakan air irigasi warga. Ia menduga para pelaku usaha melakukan ini untuk menekan biaya produksi.
"Seharusnya untuk mencuci pasir mereka membuat sumur bor sendiri, tapi kebanyakan menggunakan sumber air dari irigasi warga," imbuhnya.
Hal ini diperparah dengan pengolahan limbah pasir yang tidak sesuai. seharusnya minimal ada 3 kolam pencucian, setelah itu air dibuang ke sungai. Tetapi baru 1 kali dicuci di kolam pencucian, limbahnya sudah dibaung ke saluran irigasi warga. Edi mengaku sudah sering menyampaikan keluhan warga kepada para pihak pengusaha pencucian pasir akan tetapi kejadian seperti ini selalu terjadi.
"Kami harap ada perhatian lebih dari Pemerintah supaya ada yang mengingatkan ke pihak pengolahan pasir supaya tidak berlarut-larut," pungkas Edi. (sun/iwd)