Minat Pemprov DKI Jakarta muncul setelah pada 8 Januari 2019 Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin rapat terbatas (ratas) membahas pengelolaan transportasi di Jabodetabek. Hasil ratas menyimpulkan bahwa pengelolaan transportasi Jabodetabek belum padu dan belum saling terintegrasi, untuk itu akan dibentuk badan baru, misalnya semacam payung Otorita Pengelola Sistem Transportasi Jabodetabek (OPSTJ).
Bagaimana dengan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) yang dibentuk melalui Perpres No. 103 Tahun 2015 Tentang Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rencana Pemprov untuk mengambil alih saham PT KAI di PT KCI terlihat aneh dan tidak akan menyelesaikan permasalahan transportasi umum terkoneksi di wilayah DKI Jakarta. Dari sisi legal pembentukan OPSTJ belum mempunyai payung hukum. Sementara pembentukan BPTJ ada Perpres No. 103 Tahun 2015. Fungsi OPSTJ tidak berbeda jauh dengan BPTJ. Sehingga keinginan Wapres Jusuf Kalla untuk membuat transportasi di wilayah Jabodetabek terpadu dan saling terintegrasi masih tidak akan tercapai. Apa iya jika ada badan baru urusan konektivitas angkutan umum berbasis rel akan lebih baik?
Masa Depan KRL Jabodetabek
Penggabungan tiga moda transportasi umum berbasis rel dalam sebuah badan atau otoritas supaya integrasi pengoperasian dan anggarannya lebih jelas dan lebih mudah tentu perlu diapresiasi. Hanya saja harus dikerjakan secara penuh kehati-hatian dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang ada.
Masa depan KRL Jabodetabek menjadi in limbo atau tidak menentu. Undangan rapat dari Gubernur DKI Jakarta ke berbagai K/L terkait pada 19 Februari 2019 telah menambah keresahan jajaran PT KAI dan PT KCI karena agendanya membahas upaya merealisasikan pengelolaan kereta, rute, dan stasiun yang terintegrasi di bawah koordinasi Pemprov DKI Jakarta. Sementara KRL Jabodetabek melintasi beberapa wilayah pemerintah daerah lainnya. UU apa yang dapat digunakan sebagai landasan hukumnya?
Ide Pemprov DKI Jakarta untuk menyatukan angkutan umum di Jabodetabek berbasis rel di bawah satu kendali merupakan suatu hal yang mustahil karena akan berbenturan minimal dengan UU No. 23 Tahun 20143 Tentang Otonomi Daerah, UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, dan UU dan Perpres No. 103 Tahun 2015 Tentang Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek. Kalau Gubernur tetap memaksakan untuk memadukan angkutan umum berbasis rel, dipastikan akan terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan.
Di UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara tegas dinyatakan bahwa kekayaan atau aset BUMN (PT KAI) merupakan aset yang terpisahkan dari aset negara. Demikian pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 48 dan 62/PUU-XI/2013 mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara.
Kalau kita bahas tentang rel kereta api, sejatinya milik negara yang dibangun dan dikelola oleh Direktorat Jenderal Kereta Api. Namun status stasiun masih belum jelas karena masih terjadi perdebatan soal kepemilikannya antara PT KAI dengan Ditjen Kereta Api. Sedangkan keretanya merupakan aset operator (PT KAI). Tiga komponen ini jika akan dimasukkan menjadi aset Pemprov DKI Jakarta memang harus melalui beberapa tahapan dan kajian yang cukup rumit dan panjang.
Jadi jika Pemprov tetap akan mengambil alih aset negara yang berada di PT KAI harus ada proses pemindahan aset negara yang dipisahkan tersebut masuk ke aset Pemprov DKI Jakarta. Prosesnya pasti akan mengundang banyak keributan dan kencang unsur politisnya karena harus melalui DPR dan DPRD. Apakah Pemprov DKI Jakarta juga harus melakukan hal yang sama dengan pemerintah daerah di Jabodetabek lainnya karena relnya melewati banyak daerah?
Sementara BPTJ yang dibentuk berdasarkan Perpres No. 103 Tahun 2015 Tentang Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek belum optimal kiprahnya dalam tiga tahun ini, khususnya dalam kewenangan pembuatan kebijakan terkait dengan peran Dinas Perhubungan. Kebijakan BPTJ sering menghadapi kendala di implementasi ketika kewenangannya berbenturan dengan kewenangan Dinas Perhubungan setempat. Jadi keberadaan badan otoritas yang disampaikan oleh Jusuf Kalla belum tentu akan lebih efektif dari BPTJ jika masih ada organ Dinas Perhubungan.
Langkah Pemerintah
Pertama, pemerintah harus memastikan apakah BPTJ mau dibubarkan atau berganti kulit menjadi OPSTJ. Namun apapun keputusan yang akan diambil harus didasarkan pada kajian holistik komprehensif, bukan hanya kajian politis penuh pencitraan karena masa depan integrasi angkutan umum, khususnya angkutan umum berbasis rel di wilayah Jabodetabek bergantung pada efektivitas badan penyelenggaranya. Bisa BPTJ ataupun OPSTJ.
Kedua, andaikan pola penyatuan ini disetujui akan muncul badan-badan baru, apakah nanti semua aset PT KAI harus berpindah ke pemda? Lalu apa untungnya buat bangsa ini? Sampai hari ini saya belum pernah lihat satu pun kajian holistik terkait pemindahan aset korporasi BUMN ke pemda.
Ketiga, saat ini sudah ada keputusan bahwa PT KCI akan menjadi operator kereta commuter di beberapa provinsi/kabupaten/kota di Indonesia, makanya namanya berubah dari PT Kereta Commuter Jabodetabek (KCJ) jadi PT Kereta Komuter Indonesia (KCI). Bagaimana kelanjutannya?
Keempat, daripada membuang pikiran dan tenaga untuk mengakuisisi PT KCI atau membuat perusahaan patungan antara PT KAI dengan Pemprov DKI Jakarta yang panjang dan melelahkan, ada baiknya Pemprov DKI Jakarta membantu membangunkan prasarana (misalnya jaringan rel levated Jakarta) untuk KRL Jabodetabek sehingga jalur loopline di DKI Jakarta terbentuk atau memberikan subsidi kepada warga DKI Jakarta pengguna KRL Jabodetabek.
Kelima, mohon semua menteri terkait, seperti Menteri Keuangan, Menteri Negara BUMN, Menteri Perhubungan memberikan alternatif langkah dan menjelaskan rumitnya persoalan ini dari sisi regulasi dan kebijakan kepada Presiden dan Wakil Presiden yang disertai dengan hasil kajian yang holistik dan komprehensif. Jangan hanya, "Baik, Pak!" Atau, "Siap, Pak!" supaya kelak Presiden tidak salah mengambil kebijakan.
Agus Pambagio pemerhati kebijakan pubik dan perlindungan konsumen
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini