"Permainan di pilpres, mungkin tidak permainan di titik ini. Permainan itu kan memang tentu di mana-mana ada, ya. Cuma di titik ini tidak. Saya tidak melihat. Ini murni ada ketidaksempurnaan dalam bekerja, dan kita sudah siap untuk menyempurnakannya," ujar Suratha di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (28/2/2019).
Menurut Suratha, masalah e-KTP WNA ini harus dilihat secara timbal balik. Menurutnya, warga negara Indonesia di luar negeri juga diperlakukan dengan baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Mendagri: e-KTP WNA yang Viral Itu Palsu! |
"Ini masalah resiprokal. Jadi warga negara kita, warga negara dunia ini, warga negara kita juga banyak di Eropa, banyak di Arab Saudi diperlakukan dengan begitu baik. Dan mereka di kita sesuai dengan aturan, kita juga harus memperlakukannya dengan baik. Itu prinsip, ya. Prinsip internasional, namun tidak boleh terus mengabaikan warga negara kita tapi mengutamakan WNA. Itu juga nggak benar," katanya.
Suratha mengatakan pihaknya sudah melakukan antisipasi bersama KPU. Dia menegaskan semua warga negara asing tidak dimasukkan dalam daftar penduduk pemilih potensial pemilu (DP4).
"Sebenarnya sudah diantisipasi oleh KPU, karena KPU itu minta DP4 dari kita. DP4 itu sudah tidak dimasukkan. Semua warga negara asing tidak dimasukkan dalam DP4. Tapi ada kemungkinan 1-2 mungkin, tidak semua, dalam DP4 itu yang menjadi DPT. Ya kan ada sumber-sumber lain juga berdasarkan DPT pemilu terakhir, pilkada terakhir. Semuanya dari DP4. Jadi mungkin ada 1-2, itu nanti bisa disisir, gampang pakai sistem itu," jelasnya.
Untuk antisipasi di lapangan saat hari-H pemilu, Suratha mengimbau agar tidak memilih petugas TPS yang buta huruf. Petugas TPS, menurutnya, harus memiliki ketelitian yang baik dalam melihat siapa saja warga yang datang untuk memilih.
"Jangan menunjuk petugas lapangan yang buta huruf. Itu satu. Terus konsentrasi dalam bekerja. Misalnya kalau ada yang bawa KTP gitu, dilihat KTP-nya, jangan 'masuk, masuk', kan gitu ya. Jadi ini saling mengingatkan, saling mengawasi," paparnya.
"Butuh ketelitian. Itu kan ditunjuk, digaji, segala macam kan untuk memang meneliti, benar nggak ini warga negara sana. Dan petugas-petugas itu ngerti warganya semua. Dan yang boleh memilih di situ, itu adalah warga yang beralamat di sekitar situ. Nah, secara teoretis, tapi namanya di lapangan ada saja pernik-pernik, butuh ketelitian, keseriusan dalam bekerja untuk menyukseskan Pemilu 2019," imbuhnya.
Suratha juga menyampaikan penyediaan card reader tidak dimungkinkan dilakukan di setiap TPS. Sebagai gantinya, Kemendagri menyediakan layanan call center yang bisa digunakan untuk mengecek status kependudukan seseorang saat hari-H pencoblosan.
"Untuk sekarang tidak memungkinkan (ada card reader). Jumlahnya kan kali 3 jutaan, itu nggak mungkin. Tetapi itu hanya untuk membuktikan dalam satu TPS itu coba, kan semua kenal nih, tapi yang mencurigakan itu paling satu atau dua. Satu atau dua inilah yang dikirimkan (lewat) WhatsApp ke dinas kita untu mengecek orang ini benar nggak alamatnya di sini nih, bisa juga dipalsu-palsukan. Nah, harus dicek, kita berikan hak akses. 1500537, itu call center. Kita buka terus untuk di pusat. Untuk di kabupaten/kota, dia alamat kabupaten/kotanya," papar Suratha.
Hal itu, disebut Suratha, sebagai langkah untuk mendampingi pemilu. Menurutnya, tindakan preventif yang dilakukan sudah cukup.
"Sekarang untuk mendampingi pemilu kan terus nih, kita berikan hak akses malah kepada KPU, untuk mengecek yang rada ragu, 'ini kok ragu ya', gitu misalnya, dia langsung ke database kependudukan kita. Harusnya preventifnya sih sudah cukup. Tetapi kan namanya khawatir gitu ya, kita juga tidak bisa menampik kekhawatiran itu. Tetapi kita berpikirnya itu bagaimana menyelesaikan masalah, bagaimana membangun dan bagaimana ke depan. Kan gitu," pungkasnya. (azr/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini