"Catatan kemarin dari masalah pemberantasan korupsi dan penegakan hukum tidak ada yang baru. Karena isunya dari periode ke periode itu saja, dari tahun 2004, 2009, 2014 sekarang itu lagi. Sehingga harapan baru untuk strategi baru saya belum lihat," kata Mahfud Md dalam diskusi bertajuk 'Menakar Komitmen Capres/Cawapres terhadap Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi', yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Auditorium CSIS, Pakarti Centre, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (22/1/20219).
Dalam debat capres, pernyataan soal upaya pemberantasan korupsi dinilai Mahfud Md masih normatif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Upaya total memberantas korupsi--sebagaimana janji kampanye--sambung Mahfud, bisa terhambat karena beberapa faktor. Pertama, semua pendukung politik kedua paslon mempunyai masalah hukum.
Kedua, paradigma soal bangsa Indonesia yang dianggap masih tersandera masa lalu.
"Ketiga, sering mereka 'bagaimana kalau begini Pak, kan di tempat Bapak ada mantan koruptor gimana?'. 'Ya laporkan saja kepada pihak berwajib'. Kalau seperti itu, semua juga bisa kalau laporkan tidak usah calon presiden. Kalau ada itu jangan hanya dikeluhkan, tapi laporkan. Itu saja. Tapi tidak pernah ada yang bisa jelaskan bagaimana bisa selesaikan permasalahan di polisi ini karena laporan itu kadang tidak jalan, sering tidak transparan sejak dulu," papar Mahfud.
Mahfud Md menilai kedua kandidat, Jokowi dan Prabowo, sama-sama menganggap masalah hukum hanya urusan di pengadilan, seperti bagaimana menyelesaikan perkara, mulai dari polisi, jaksa, hakim, hingga vonis. Padahal, menurut Mahfud, hal yang paling buruk adalah birokrasi.
Baca juga: Jokowi Vs Prabowo di 5 Survei Terakhir |
"Birokrasi kita itu bisa dijualbelikan kok, surat-surat apa. Orang dulu mungkin berpikir, bilang yang korupsi itu yang banyak uangnya. Sekarang, penyelenggara negara semua bisa diperdagangkan. Birokrasinya dikooptasi oleh kekuatan politik. Apa yang dijanjikan untuk selesaikan ini oleh dua pasangan calon? Tidak ada. Padahal di situ masalahnya serius," tegasnya.
"Bicara hukum itu sehari-hari di birokrasi itu yang harus diselesaikan karena sumber terbesarnya di situ. Sementara birokrasinya dikooptasi oleh kekuatan politik. Dan tidak ada yang menjanjikan 'udah, politik tidak usah masuk birokrasi', ndak ada. Tidak ada yang menunjukkan strategi bagaimana membersihkan birokrasi itu," lanjut Mahfud.
Menurut Mahfud, seorang pemimpin harus mampu membenahi birokrasi. Cara yang bisa ditempuh adalah tindakan tegas.
"Intinya, seorang pemimpin yang terambil itu harus bisa benahi birokrasi dulu, yaitu melepas dari sandera masa lalu dan melepas birokrasi dari kooptasi politik. Bagaimana caranya itu? Itu lustrasi dan amputasi. Mungkin ada cara lain. Tapi intinya hapuskan dengan masa lalu," kata dia.
Baca juga: Beda Debat Capres I dan II Sejauh Ini |
Mahfud juga menyoroti program capres dalam hal tumpang-tindih aturan hukum. Menurutnya, tidak ada kebaruan dalam program-program yang disampaikan kedua paslon.
"Prabowo katakan 'ya akan selesaikan dengan himpun para pakar'. Jokowi dengan pusat legislasi nasional. Nggak ada yang baru diperdebatkan, yaitu soal tumpang-tindih aturan hukum. Prabowo dengan cara menghimpun pakar. Ini dilakukan sejak dari Pak Harto hingga sekarang, nggak ada yang baru. Yang membuat UU keormasan itu pakar semua. Bahkan presiden manggil pakar kalau ada masalah. Saya sering dipanggil ke Istana. Ini sudah dipakai, bukan yang baru," tuturnya.
Sandi Jelaskan Maksud Prabowo Sebut 'Korupsi Tidak Seberapa', Simak Videonya:
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini