Razia Buku Memenjarakan Nalar Intelektual
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Mimbar Mahasiswa

Razia Buku Memenjarakan Nalar Intelektual

Rabu, 16 Jan 2019 10:09 WIB
Dimas Rajayaksa
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sebuah toko buku di Padang yang dirazia (Foto: Jeka/detikcom)
Jakarta -

Membaca buku merupakan suatu bentuk dalam membangun intelektualitas dan kritisisme bagi masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Fran Lebowitz, penulis dari Amerika, "Think before you speak, read before you think." Kita dapat berkesimpulan bahwa dalam berbicara atau mengemukakan suatu pendapat haruslah dilandasi dengan pikiran serta wawasan yang luas dan terbuka, dan itu bisa didapatkan melalui membaca buku.

Terutama pada zaman sekarang yang begitu sulit untuk menemukan kebenaran akan sesuatu, hoax menjamur di setiap sudut persimpangan, kita diharuskan untuk banyak membaca buku sebagai bentuk perlawanan akan kepalsuan dan semata-mata untuk adil dalam berpikir. Tapi, bagaimana jika buku yang merupakan item bagi kita untuk membangun wawasan luas dan terbuka malah dibatasi dan dirazia??

Sangat disayangkan terjadinya razia buku di Kediri dan Padang pada Selasa (8/1/2019) lalu. Buku-buku tersebut dirazia karena "berhaluan paham kiri" atau komunis, serta "ada unsur PKI". Buku-buku yang dirampas antara lain berjudul Kronik 65, Anak-anak Revolusi, Jas merah, Mengincar Bung Besar, Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, Soeharto. Bahkan yang sangat disayangkan, buku karya Sukarno juga ikut disita yang berjudul Islam Sontoloyo.

Menurut saya, peraziaan buku-buku tersebut merupakan suatu tindakan pembodohan karena telah membatasi kemerdekaan masyarakat dalam berpikir melalui membaca. Ada unsur totaliterisme dari pemerintah yang berusaha mengendalikan opini publik melalui peraziaan buku-buku tersebut. Pemerintah berusaha memenjarakan nalar intelektual yang coba diraih masyarakat melalui membaca.

Memang, TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 melarang penyebaran ajaran atau ideologi komunisme. Saya paham dengan sikap paranoid pemerintah akan bangkitnya komunisme. Karena memang komunisme dipenuhi dengan sejarah berdarah-darah terutama pada saat Uni Soviet dipimpin oleh Joseph Stalin.Di Indonesia sendiri ada peristiwa seperti G 30 S 1995 S yang mengorbankan nyawa para jenderal bangsa ini.

Namun, apakah dengan membaca buku-buku kiri secara otomatis akan menjadikan kita sebagai komunis? Apakah dengan memenjarakan kemerdekaan masyarakat dalam membaca melalui razia buku-buku sudah menjadi langkah yang tepat dalam mencegah ideologi komunisme? Tentu jawaban dari kedua pertanyaan tersebut adalah "tidak".

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebaliknya, jika kita ingin mencegah komunisme dan PKI di Indonesia, maka kita harus paham dengan kedua hal tersebut. Seperti, apa itu komunisme dan PKI? Apa tujuannya? Siapa yang merumuskannya? Mengapa hal tersebut berbahaya bagi bangsa? Semata-mata agar kita lebih paham dengan sesuatu yang ingin kita tentang. Bagaimana bisa kita menentang sesuatu yang bahkan kita tidak pahami? Ibaratnya kita sedang bertanding dalam pertandingan tinju dengan mata tertutup.

Cara kita paham dengan komunis dan PKI adalah dengan cara menggali informasi mengenai kedua hal tersebut yang bisa kita dapatkan di buku-buku kiri. Dengan begitu, kita bisa membangun nalar intelektual dalam diri kita untuk mencegah komunisme, dan adil dalam berpikir. Diperlukan paham melalui dua sisi untuk adil dalam menilai sesuatu. Bahkan dalam menentang atau membenci sesuatu pun harus kita lakukan dengan cara intelektual, yaitu dengan membaca buku.

Patut kita ketahui bahwa para pendiri bangsa kita seperti Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka dll, mereka semua membaca buku-buku kiri dengan paham-paham Marxisme-Leninisme. Para pendiri bangsa kita membaca buku-buku tersebut semata-mata untuk mengasah pisau intelektual mereka demi mewujudkan revolusi dan kemerdekaan bangsa.

Jadi sekali lagi, peraziaan buku yang terjadi di Kediri dan Padang merupakan suatu bentuk upaya untuk mengkerdilkan nalar intelektual nan kritis bagi masyarakat. Apa bedanya dengan masa Orde Baru yang membatasi buku-buku beredar demi mengkerdilkan pemikiran kritis masyarakat agar melanjutkan ketiranian mereka?

Di Indonesia sendiri minat baca begitu rendah. Hal tersebut di buktikan berdasarkan studi Most Littered Nation in the World 2016. Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Minat baca yang begitu minim ditambah lagi dengan sikap pemerintah yang membatasi bacaan bagi masyarakat, bisa kita prediksikan bahwa masyarakat Indonesia akan menjadi buta akan literasi serta minim wawasan. Bagaimana negara ini berkembang jikalau masyarakatnya menjadi seperti itu?

Jadi, saya berharap pemerintah tidak membatasi upaya masyarakat dalam membangun fondasi intelektual melalu buku-buku yang dibaca. Seperti yang dikatakan Mohammad Hatta, "Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku merasa bebas." Karena itu tolong jangan merenggut kebebasan kami, yaitu buku. Dengan buku itulah kami dapat bebas dari penjara kebodohan. Dengan buku itulah kami dapat berupaya membangun istana pengetahuan dalam alam pikiran kami yang akan kita aktualisasikan untuk membangun bangsa dan negara yang maju.

Pemerintah tidak perlu terlalu memikirkan kebangkitan komunisme dan PKI; kedua hal tersebut sudah usang dan tiada. Apa yang perlu pemerintah pikirkan adalah menuntaskan pekerjaan-pekerjaan yang belum beres dalam memakmurkan bangsa. Menepati janji-jani yang diucapkan kepada masyarakat. Takutilah kebodohan beserta kebatilan. Bangunlah negara ini melalui membaca karena membaca adalah melawan, dan upaya memajukan bangsa. Perbanyaklah buku-buku dari berbagai penulis, ideologi, dan paham-paham yang ada di dunia semata-mata untuk kemajuan masyarakat indonesia dalam berpikir.

Dimas Rajayaksa mahasiswa Fakultas Syariah & Hukum Jurusan Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar, kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads