Awalnya jaksa KPK menghadirkan tenaga ahli di DPR yang juga mantan staf Eni, Tahta Maharaya, dalam persidangan. Tahta mengaku telah menerima total Rp 5 miliar secara bertahap dari sekretaris Tamin, Nenie Afwani, yang ditujukan bagi Eni.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dia (Nenie) cuma bilang ke saya gini, 'Bilang sama Ibu, one point two'. Terus saya langsung WA (WhatsApp) Ibu Eni, bilang, 'Bu, kata Bu Nenie, one point two'," kata Tahta saat bersaksi dalam persidangan Eni di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (26/12/2018).
Jaksa menanyakan apakah maksud 'one point two' merupakan uang Rp 1,2 miliar, tapi Tahta mengaku tidak tahu. Seingat Tahta, setidaknya ada informasi yang disampaikan Nenie bila Samin akan memberikan Rp 5 miliar ke Eni dalam 3 tahap.
"Ada nggak (Nenie) bilang, uang dari Samin Tan ada 3 tahap dalam seminggu totalnya 5 (Rp 5 miliar)?" tanya jaksa.
"Iya, itu dari WA Bu Nenie," ucap Tahta.
Setelahnya menurut Tahta ada beberapa pertemuan yang dilakoninya atas perintah Eni. Salah satu pertemuan diakui Tahta terjadi di Gedung Menara Merdeka, Jakarta Pusat. Namun Tahta mengaku tidak bertemu Nenie, melainkan dengan staf Nenie.
"Stafnya Bu Nenie berikan tas olahraga warna hitam, isinya saya nggak tahu, cuma di tanda terimanya di tulisannya, saya nggak ingat betul, kalau nggak salah bilangnya buah satu kilo atau ton saya lupa," kata Tahta.
Jaksa kemudian membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Tahta yang menyebutkan tulisan itu berbunyi 'buah satu kuintal'. Tahta pun mengamininya meski mengaku tidak tahu betul apa isi tas itu.
"Saya baru tahu setelah penyidikan. Saya ditunjukkan penyidik kalau itu isinya uang sebesar Rp 1 miliar," ucap Tahta.
Eni sebenarnya duduk sebagai terdakwa perkara suap dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1. Namun jaksa KPK juga mendakwanya menerima gratifikasi dari sejumlah pengusaha lainnya termasuk Samin.
Dalam surat dakwaan, Samin disebut sebagai pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal yang bergerak di bidang jasa pertambangan batu bara. Perusahaan itu memiliki anak perusahaan yaitu PT Asmin Kolaindo Tuhup (PT AKT).
Kaitan pemberian gratifikasi Rp 5 miliar dari Samin ke Eni itu disebut jaksa karena terkait permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi 3 di Kalimantan Tengah antara PT AKT dengan Kementerian ESDM. Jaksa menyebut Samin meminta bantuan Eni berkaitan dengan persoalan yang dihadapi perusahaan Samin itu. (zap/dhn)