Pertapaan Kembang Lampir sendiri terletak Dusun Blimbing, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Untuk mencapai tempat pertapaan itu kurang lebih memerlukan waktu sekitar 20 menit, mengingat jarak tempuhnya sejauh 17 kilometer dari Kota Wonosari.
Jikalau ditempuh melalui Kota Yogyakarta berjarak sekitar 40 kilometer melalui wilayah Imogiri, Kabupaten. Bantul. Kembang Lampir terletak di wilayah Kecamatan Panggang yang berbatasan dengan Imogiri Bantul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Selain itu di samping pintu masuk itu terdapat dua gapura yang masing-masing terpampang lambang Haba, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Untuk menunju tempat pertapaan, ada puluhan anak tangga yang menjulang ke atas.
Ingin mengetahui sejarah tempat pertapaan itu, detikcom bertemu dengan salah satu juru kunci Kembang Lampir yakni Trisno Sumarto (62). Dikatakan pria yang kerap disapa pak Tris ini, bahwa Kembang Lampir merupakan bekas tempat bertapa Ki Ageng Pemanahan saat mencari wahyu Mataram.
Lanjut warga Dusun Pendak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul ini bahwa setelah bertapa di tempat tersebut akhirnya wahyu yang dicari Ki Ageng Pemanahan turun dengan wujud bunga (Kembang) yang semampir (tergeletak) di pepohonan sekitar tempat bertapanya.
"Karena itu nama tempat ini Mbang Lampir, berasal dari Kembang Lampir itu tadi," katanya kepada detikcom.
Menurut pria yang telah menjadi juru kunci selama puluhan ini, setelah turunnya wahyu tersebut Ki Ageng Juru Pemanahan bersama anaknya Danang Sutawijaya mendirikan Keraton Mataram di Kotagede. Pertapaan Mbang Lampir sendiri juga sangat berhubungan erat dengan beridirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ditanya mengenai ada apa di ujung puluhan anak tangga yang menjulang ke atas itu, Trisno menerangkan di bagian atas terdapat petilasan atau tempat bertapa Ki Ageng Pemanahan. Tempat tersebut berupa sebuah batu yang berada atas tanah, di dekat tempat bertapa itu juga terdapat kayu Wegig seukuran tangan, konon kayu itu digunakan Ki Ageng Pemanahan untuk bersandar.
"Tidak diubah-ubah (Petilasannya), hanya saja sekarang diputari dengan kayu (dipagari), yang bentuknya menyerupai kotak," ujarnya.
Namun, untuk bagian lain pertapaan Kembang Lampir mengalami pemugaran, tempatnya pada tahun 1977. Pemugaran dilakukan oleh pihak Keraton yang saat itu dipimpin (alm) Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selanjutnya, pemugaran dilanjutkan oleh Sri Sultan HB X.
"Sempat rusak (Pertapaan Mbang Lampir) karena gempa 2006 dan tahun 2011 itu diperbaiki," katanya.
Mengenai pengunjung yang datang ke Mbang Lampir, Trisno menyebutkan banyak orang-orang yang datang ke tempat tersebut untuk sekedar memanjatkan doa. Mereka berdoa agar naik pangkat atau jabatan, bahkan agar usahanya berhasil.
Orang-orang yang ingin meraih jabatannya diantara ingin bisa terpilih jadi lurah atau kepala desa, sekretaris desa, perangkat desa, jabatan di pemerintahan, bahkan hingga caleg.
Di tempat itu ada beberapa peraturan yang harus ditaati pengunjung. Adapun peraturan itu adalah tidak boleh memakai sandal atau sepatu saat naik ke atas, dilarang menggenakan pakaian berwarna ungu terong dan hijau lumut, serta dilarang mengambil foto sesampainya di tempat petilasan.
"Kalau orang-orang yang ke sini (Mbang Lampir) banyak, tapi waktunya tidak tentu, kadang ada yang datang siang dan malam," ucapnya.
"Biasanya yang datang itu untuk memanjatkan doa, yang datang macam-macam dan hampir selalu ramai didatangi orang-orang dari berbagai kota," imbuhnya.
Ditambahkan Trisno, meski Mbang Lampir memang terbuka untuk umum namun bukanlah sebagai tempat wisata. Kendati demikian, ia tidak melarang orang-orang datang, namun sekali lagi harus menaati peraturan yang berlaku dan menemui dirinya terlebih dahulu apabila hendak ke tempat bertapa Ki Ageng Pemanahan.
Tonton juga ' Bupati Cirebon Ditetapkan Jadi Tersangka Jual Beli Jabatan ':
(bgs/bgs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini