"Semestinya ada kriteria standar yang ditetapkan secara medik siapa yang punya hak pilih, siapa yang tidak. Saya kira ini kita harus berpegang pada standar itu. Karena kalau tidak, nanti kita akan bisa menimbulkan polemik yang tidak perlu. Saya kira kita ikuti apa yang menjadi kelaziman dalam proses demokrasi," kata Fadli di gedung DPR, Jakarta Pusat, Kamis (22/11/2018).
Menurutnya, orang yang sudah dinyatakan dokter memiliki gangguan mental seharusnya tidak dimasukkan ke daftar pemilih karena tidak bisa menentukan pilihan. Dia meminta agar tidak memaksakan pemilih dengan gangguan mental bisa memilih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fadli mengatakan KPU seharusnya mendahulukan mendata orang yang belum masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sedangkan mereka yang memiliki gangguan mental tidak perlu dimasukkan ke DPT.
"Kan lucu saya kira yang harus diprioritaskan yang sebelum dapat undangan, belum terdaftar sebagainya itu harus prioritaskan. Kalau mereka yang sudah divonis misalnya tidak mampu atau memiliki gangguan kejiwaan mengambil keputusan mestinya tidak perlu dipaksakan," ujar Fadli.
Sebelumnya, KPU akan memasukkan pemilih tunagrahita atau disabilitas mental ke daftar pemilih pada Pemilu 2019. Hal ini dilakukan atas rekomendasi yang diberikan Bawaslu.
"Pemilih disabilitas grahita kita diminta dimasukkan ke dalam daftar pemilih. Kemarin kami menerima rekomendasi dari Bawaslu RI agar pemilih disabilitas mental atau tunagrahita dimasukkan (ke daftar pemilih)," ujar komisioner KPU, Viryan Aziz, di kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa (13/11).
Viryan mengatakan sebelumnya pemilih tunagrahita tidak masuk daftar pemilih. Dia mengatakan tunagrahita yang memiliki surat keterangan dokter dalam kondisi tidak dapat memilih berarti tidak terdaftar. (yld/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini