"Sejak dulu pekerjaan suami saya ya membuat blangkon ini saja, sejak 30 tahun yang lalu sejak kita belum menikah. Namun dulu tidak sebesar ini," kata Ririn saat ditemui detikcom, Jumat (9/11/2018).
Setiap hari, 8 pekerja yang dimiliki Ririn melakukan tugasnya masing-masing. Dua pekerja bertugas menjahit jarit atau kain batik panjang sebagai bahan baku pembuatan blangkon. Dua pekerja lainnya memasang kain yang telah disiapkan ke cetakan untuk blangkon dari kayu seukuran lingkar kepala manusia.
Namun ada juga pekerja yang memilih mengerjakan tugasnya di rumah masing-masing. "Dua orang dikerjakan di rumah, dua orang khusus menjahit jarit dan sisanya garap di tempat saya sini," ujar Ririn.
Ririn mengaku sengaja memberdayakan tetangganya sendiri. "Mulai kerja sekitar pukul 08.00 WIB, kadang juga tidak pasti. Saya mempekerjakan orang-orang di sekitar sini, saya ajari kemudian membantu bekerja di sini," terangnya.
Masing-masing dari mereka digaji dengan sistem borongan perkodi. Dalam sehari, ia mampu memproduksi blangkon hingga 8 kodi atau 140 buah.
Ririn menambahkan agar bisa bersaing, sejumlah model blangkon dibuat olehnya dan para pekerja kreatifnya. Di antaranya blangkon model Pacul Gowang, model Cak dan Ning Jawa Timuran, Madura dan model Ponorogoan. Namun diakui ibu dua anak ini, yang paling diminati oleh pembeli adalah blangkon Pacul Gowang.
![]() |
Bahkan Ririn patut berbangga karena salah satu model blangkon ciptaannya pernah mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.
"Yang model Pacul Gowang ini saya sendiri yang menciptakan. Blangkon ciptaan saya ini pernah mendapat penghargaan dari Pemkab Sidoarjo. Namun waktu itu saat mendapat penghargaan pas waktu suami saya sudah tidak ada," ungkapnya.
Untuk pemasaran, Ririn tinggal memanfaatkan teknologi yang ada saat ini. Bahkan dengan teknologi tersebut, produknya mampu menjangkau konsumen lebih luas seperti Yogyakarta, Solo hingga Jakarta. Tak jarang Ririn kerap kebanjiran pesanan, baik lewat pesanan daring maupun mereka yang datang langsung ke rumah produksinya.
Meski demikian, Ririn mengaku juga masih sering dihadapkan pada persoalan bahan baku jarit yang kerap terlambat. Sampai-sampai calon pembeli yang tak sabaran membawa sendiri bahan untuk blangkon yang diinginkannya.
"Kadang juga ada pemesan yang membawa kain jarit sendiri untuk dibuatkan karena ingin dengan bahan yang lebih bagus dan terkesan lebih mewah," katanya.
Untuk konsumen, Ririn mematok harga bervariasi untuk blangkon bikinannya, tergantung tingkat kesulitan dan harga jaritnya. Semisal Rp 10 ribu untuk model Madura, Rp 25 ribu untuk model Jawa Timuran dan yang paling mahal adalah model Pacul Gowang yang mencapai Rp 50 ribu.
"Kalau untuk omzetnya saya tidak bisa menghitung pastinya. Satu bulan ya sekitar Rp 25 juta lebihlah. Itu belum dipotong gaji pekerja," tutupnya. (lll/lll)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini