"Dulu kan pernah, sudah akan (dilaporkan ke polisi). Dari awal kasus ini mencuat dan sudah dilaporkan (ke kampus), ini sudah pernah (diusulkan untuk) dibawa ke kepolisian, sudah ada tawaran," kata Kabag Humas dan Protokol UGM, Iva Aryani saat ditemui detikcom, Kamis (8/11/2018).
"Tetapi penyintas belum siap untuk itu (kasusnya dibawa ke ranah hukum). Kita memahami dan melihatlah psikologis itu ya. Saya yakin sangat tidak mudah untuk penyintas menjalani hari-hari seperti ini," lanjut dosen Fakultas Filsafat UGM tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun tampaknya rekomendasi tim investigasi belum memuaskan korban. Hingga akhirnya kasus ini mencuat ke publik setelah terbit artikel berjudul 'Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan' yang ditulis Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung.
Menanggapi polemik ini, pihak UGM akan mencoba berkomunikasi kembali dengan korban apakah bersedia kasus ini dibawa ke ranah hukum. Selain dengan korban, UGM juga akan meminta saran tim investigasi dan LSM Rifka Annisa selaku pendamping korban.
"Tapi ini kan bukan persoalan setelah lapor (polisi lalu) selesai, begitu. Karena ada banyak hal yang nanti akan dihadapi bukan oleh UGM, tetapi oleh penyintas ini yang kemudian harus dipikirkan," ungkapnya.
Sebelumnya diberitakan bahwa muncul desakan dari sejumlah pihak untuk membawa kasus ini ke ranah hukum. Salah satunya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Kita prihatin jika itu benar terjadi, karena bagaimanapun juga kekerasan seksual, apalagi ini terjadi dalam kegiatan di perguruan tinggi ini sangat tidak mendidik. Artinya harus diselesaikan, karena sudah masuk ranah pidana. Sehingga tidak cukup diselesaikan dengan perdamaian, harus ada langkah-langkah penyelesaian secara hukum," kata Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai saat ditemui wartawan di Hotel Royal Ambarrukmo, Sleman, DI Yogyakarta, siang tadi.
Menurut Haris, ada berbagai alasan peristiwa ini harus diselesaikan secara hukum pidana.
"Tujuannya pertama untuk beri efek jera bagi pelaku, kedua beri keadilan bagi korban, ketiga bisa jadi pembelajaran tak hanya bagi pelaku tapi juga pihak perguruan tingginya," jelasnya.
Ditambah lagi, kekerasan seksual bukan merupakan delik aduan. Sehingga kalau ada peristiwa itu maka bisa langsung ditangani oleh polisi.
"Pihak kampus memberi pendampingan psikologis, hak korban tidak hanya layanan psikologi, itu hanya melengkapi saja. Proses penegakan hukum harus jalan ditambah pendampingan psikologis," imbuhnya.
Diwawancara terpisah saat aksi 'UGM Darurat Kekerasan Seksual' di Fakultas Fisipol UGM, narahubung gerakan #kitaAGNI (Agni adalah nama semaran korban yang dipakai BPPM Balairung), Natasya menjelaskan bahwa opsi membawa kasus pemerkosaan ke ranah hukum juga bermasalah apabila langkah tersebut diambil tanpa persetujuan korban.
"Misalnya mendorong Agni ke jalur hukum itu juga bermasalah. UGM perlu menghargai keputusan dari penyintas (korban). Tekanan yang diterima oleh penyintas itu sangat tidak sederhana," ujar Natasya. (sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini