Keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP menaruh harapan penuh kepada Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri untuk 'menemukan' anggota keluarga mereka dari banyaknya body part yang ditemukan tim SAR gabungan di perairan Karawang.
detikcom melihat kinerja Tim DVI Polri di RS Polri Raden Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur. Di bangunan instalasi forensik, yang terletak di bagian belakang rumah sakit, terlihat ada beberapa ruangan, mulai kamar pemulasaraan, kamar pemeriksaan, kamar pendingin, hingga beberapa ruangan lainnya.
Ruang paling depan adalah ruang penerimaan dan registrasi jenazah. Ruangan bercat krem itu juga menjadi tempat menaruh peti jenazah yang sudah diperiksa.
"Kita yang di sini menerima dalam kantong jenazah. Begitu kantong itu sampai di instalasi, kita register," kata Kepala Tim Postmortem Kombes dr Adang Azhar kepada detikcom di lokasi, Selasa (6/11/2018).
Adang menjelaskan proses registrasi jenazah dimulai dengan memberi nomor pada potongan tubuh. Karena bertempat di RS Polri Raden Said Sukanto, yang dikelola Mabes Polri, nomor registrasi diawali kode 00.
Setelah kode, ditulis asal jenazah terkait peristiwa. Kemudian ditulis lagi nomor jenazah yang urut berdasarkan waktu kedatangan.
"Kita kasih label, penomoran supaya tidak tertukar. Karena ini operasi DVI, kita kasih label DVI. Misalnya 00, itu kode Mabes karena di rumah sakit sini yang periksa. Tanjung Priok atau Lion Air, itu menandakan jenazah kasus Lion yang dikirim dari Tanjung Priok, garis miring lagi 0001, itu berarti jenazah pertama," jelas Adang.
Adang menuturkan kantong jenazah biasanya datang pada malam hari, sehingga potongan tubuh yang tidak sempat diperiksa akan disimpan di mesin pendingin. Kualitas mesin pendingin milik RS Polri Raden Said Sukanto dipastikan bekerja baik.
"Kantong biasanya datang malam. Kita simpan di mesin pendingin, mesin pendingin yang sangat bagus. Setelah tahap labeling, kita periksa, kita buka bodybag-nya. Kita deskripsikan apa yang kita temukan," ujar Adang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari pantauan detikcom, mesin yang dimaksud Adang adalah sebuah ruangan bercat biru berisi banyak rak berukuran 2x0,6 meter. Suhu ruangan diatur -20 derajat Celsius. Ruang pendingin itu disebut cukup untuk menampung 200 jenazah.
Adang menerangkan pendeskripsian jenazah dimulai dari kondisi tubuh yang diterima pihak DVI, yang lengkap atau berbentuk potongan. Selanjutnya dokter akan melihat ciri-ciri jenazah dari bagian luar, seperti pakaian dan aksesori yang masih terpakai.
"Kalau luar berarti dari pakaiannya atau apa yang dia pakai, misalnya cincin, jam tangan, atau apa. Setelah itu, semua barang itu dibuka dan dimasukkan ke kantong keresek. (Pakaian dan aksesori) itu kita sebut properti yang dipakai jenazah. Propertinya kita labeling lagi," tutur Adang.
Adang mengatakan jenazah diberi label warna oranye, sementara properti korban diberi label warna hijau. Setelah memeriksa bagian luar jenazah, dokter DVI lalu memeriksa ciri yang melekat pada tubuh korban.
"Kita lihat cirinya mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Yang tidak utuh kita sebutkan misalnya potongan tangan, kita gambarkan apa yang kita lihat," lanjut Adang.
Semua hasil pengamatan dokter forensik dituangkan dalam form postmortem. "Selain ditulis, kita dokumentasikan. Kita foto menggunakan kamera digital," ujar Adang.
Pada tahapan pemeriksaan jenazah, dokter DVI akan membagi tugas berdasarkan kondisi tubuh korban. Ada tiga bagian tim yang berjibaku mengungkap identitas korban, yaitu bagian odontologi, Inafis (Automatic Fingerprint Identification System), dan DNA.
"Pertama kali periksa kalau ditemukan ada bagian gigi, nanti dikonsulkan ke tim bagian odontologi forensik. Kalau ditemukan ada jari-jari di situ, kita konsulkan ke bagian Inafis. Ada juga bagian tim untuk sampel DNA. Jadi ada tiga bagian, mulai forensik odontologi, Inafis, dan tim DNA. Jadi itu tergantung keperluannya," ungkap Adang.
Metode Identifikasi DNA Lama tapi Pamungkas
Setelah Adang, Kepala DVI Pusdokkes Polri Kombes dr Lisda Cancer melanjutkan penjelasan tahapan proses identifikasi.
"Yang paling cepat (teridentifikasi) adalah sidik jari karena tiap orang sudah direkam sidik jarinya. Apalagi sekarang dengan adanya e-KTP semua orang sudah ada database-nya di Kemendagri. Begitu ada jenazah, kalau ada sidik jarinya, langsung ditempel di alat namanya MAMBIS. Begitu ditempel, langsung connect ke database," terang Lisda.
Jika kondisi jari sudah tidak bagus, sambung Lisda, Tim Inafis menerapkan perlakuan khusus untuk membuat sidik jari kembali bisa dideteksi. Jika kondisi jari bagus, petugas Inafis dapat mengidentifikasi pemilik jari dalam hitungan menit.
Baca juga: Turbin Pesawat Lion Air Kembali Ditemukan |
"Itu ada teknik dari Inafis, yang saya lihat, ada yang pakai disuntik air hangat jarinya. Misalnya kalau sudah keriput, itu disuntik air hangat, dia gelembung lagi, sehingga kelihatan lagi. Tekniknya macam-macam," tutur Lisda.
Sementara itu, cara untuk mengidentifikasi korban lainnya adalah dengan memeriksa gigi. Namun hal ini harus didukung data antemortem. Pemeriksaan satu sampel gigi dapat memakan waktu satu hari.
"Gigi juga cepat, sepanjang dia punya rekam medis gigi. Kalau tidak ada antemortem gigi, setidaknya dari gigi bisa di-screening ini jenis kelamin apa, usia apa, rasanya. Dari gigi kita bisa bagi apakah jenazah itu ras Mongoloid, Kaukasoid, Negroid. Untuk menambah akurasi juga ada pengukuran gigi jenazah," jelas Lisda.
Pemeriksaan sidik jari, gigi, dan pengambilan jaringan tubuh untuk pemeriksaan DNA dilakukan di ruang pemeriksaan. Di sana terlihat ada 20 meja periksa yang berjajar rapi.
Belasan dokter forensik sedang memeriksa menggunakan baju autopsi, penutup rambut, dan masker muka. Pemakaian baju yang serbatertutup itu dimaksudkan agar dokter tak terpapar bakteri dari jenazah.
Lisda kemudian menerangkan proses pengambilan DNA dilakukan di ruang pemeriksaan. Namun sampel DNA diproses di laboratorium milik DVI di Cipinang, Jakarta Timur. Proses identifikasi dengan DNA memerlukan waktu empat hari.
"Dalam sekali running bisa ratusan sampel DNA, 180-an (sampel) mungkin. DNA paling lama, tapi dia itu senjata pamungkas. Karena sampelnya seburuk apa pun, dia masih bisa diidentifikasi. Bagian apa saja yang ketemu, bisa diperiksa DNA-nya kecuali rambut yang terputus akarnya dan kuku," ungkap Lisda.
Identifikasi dengan DNA dimulai dari pengambilan jaringan tubuh, pengiriman jaringan tubuh, ekstraksi DNA yang ada di dalam jaringan tubuh, penghitungan DNA untuk mengetahui cukup atau tidak untuk memprofilkan identitas jenazah.
"Profilnya itu hasil akhirnya berupa grafik-grafik, lalu diterjemahkan ke angka-angka. Angka itulah yang kemudian dicocokkan dengan DNA keluarga," kata Lisda.
Proses identifikasi menggunakan DNA, sambung Lisda, tak selamanya mulus. Dalam praktiknya, ada sampel-sampel DNA yang gagal memprofilkan jenazah. "Bisa juga profil DNA-nya nggak keluar, misalnya sudah busuk. Akhirnya ambil lagi dari awal, empat hari lagi (proses identifikasinya)," ujar dia.
"Lalu kendala lainnya misalnya di kantong jenazah ada beberapa bodypart. Ini kan dari individu yang lain. Kalau nempel, terjadi kontaminasi. Jadinya ada dua profil. Jika begitu, kita tidak bisa analisis," terang dia.
Lisda mengungkapkan kebanyakan bodypart yang diterima pihaknya berupa bagian kulit. Oleh karena itu, Tim DVI agak kesulitan dalam proses identifikasi.
"Yang ditemukan bodypart kebanyakan kulit-kulit. Belum ada (jasad) yang utuh. Karena itu, agak sulit (mengidentifikasi) karena minim data yang diambil," kata Lisda.
(aud/fdn)