Warga asli Jarak-Dolly mengaku merasakan perekonomian mereka membaik sejak lokalisasi itu ditutup. Salah satu yang mengakuinya adalah Jarwo Susanto (37).
Senyum Jarwo terlihat renyah ketika detikcom mampir ke rumahnya di Kupang Gunung Tembusan 2 nomor 6, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan. Rumah berukuran 3x8 meter ini juga menjadi tempat produksi tempe yang kini menjadi mata pencahariannya. Saat itu ia memang sedang mengaduk-aduk kedelai di halaman rumahnya.
Siapa sangka jika sosok murah senyum tersebut ternyata pernah menolak penutupan eks lokalisasi Jarak-Dolly pada tahun 2014 lalu?
Bahkan saat itu Jarwo adalah salah satu sosok yang paling dicari oleh polisi. Pria yang dulunya menjadi PKL di Jarak-Dolly itu sempat membuat keributan dengan mengarak seekor kerbau yang bertuliskan 'PKL itu ibarat sawah, yang diinjak-injak saat akan panen" sebagai simbol penolakan terhadap penutupan lokalisasi tersebut.
"Saat itu saya melarikan diri ke Sidoarjo. Dari sanalah saya bisa mendapat ilmu membuat tempe hingga sekarang," kata Jarwo, Sabtu (1/9/2018).
![]() |
Namun begitu mendengar kawasan eks lokalisasi Jarak-Dolly sudah kondusif, ia pun memberanikan diri untuk kembali dengan profesi barunya, yaitu berjualan tempe. Namun tak mudah bagi Jarwo mengeluti usaha barunya itu.
"Dulu mudah cari duitnya, banyak lagi. Tapi ya begitu cepat habis. Kini usaha tempe alhamdulillah hasil lumayan lebih berkah dan barokah," kata Jarwo.
Di awal menggeluti usaha tempe, Jarwo mengaku dalam sehari hanya memproduksi tempe dari 2 kg kedelai. Kini, perlahan namun pasti ia mulai memproduksi 20 kg kedelai dalam sehari.
"Saya sempat putus asa. Asli soro nggawene mas (susah bikinnya, red)," ungkap Jarwo.
Barulah di tahun 2016, ia bersama sang istri, Munasifah (30) yang sempat menjadi tunasusila memperoleh undangan pelatihan untuk memulihkan ekonomi warga pasca penutupan eks lokalisasi dari Pemkot Surabaya melalui Disperindang dan Bapemas Kota Surabaya, asa kehidupan keluarga Jarwo dimulai.
"Dulu saya mendapatkan pelatihan dari pemkot. Tapi saya wakilkan ke istri saya. Dari situ kita diberi bantuan mesin penggilingan tempe oleh Bapemas. Dari situ semangat saya membuat tempe timbul kembali," terang Jarwo.
Dari situlah, Jarwo dan Munasifah menekuni dan menelateni membuat tempe hingga perhari mampu memproduksi 30 kg kedelai dengan penghasilan Rp 350 ribu perhari.
"Sekarang satu bulan kotor bisa mendapatkan Rp 10 juta. Itu saya keliling dari gang-gang di Kelurahan Putat Jaya," ujar Jarwo dengan tersenyum.
Diakui Jarwo, meski pernah menjadi aktor penolakan penutupan eks lokalisasi Jarak-Dolly, ia tidak dikucilkan oleh Pemkot Surabaya.
"Ndak mas. Malah dirangkul diajak pameran oleh pemkot. Setiap ada pameran sama pemkot. Bahkan saya juga pernah diundang pameran pasca penutupan lokalisasi di daerah Lasem," ungkap Jarwo.
Ditambahkan Jarwo, Pemkot Surabaya saat ini bahkan tengah memperjuangkan tempe produksinya agar dapat dipasarkan ke supermarket kenamaan di Kota Surabaya.
"Kemarin tempe saya ditawarkan oleh Disperindang Kota Surabaya untuk masuk ke Superindo. Sampling tempe sudah memenuhi syarat, tinggal menunggu keputusan dari Jakarta," ungkap lulusan SMK Kartika 2 Surabaya ini.
Sementara itu, terkait ramai gugatan class action sejumlah warga ke Pemkot Surabaya sebesar Rp 270 miliar, Jarwo pun menolak eks lokalisasi dibuka kembali.
"Semua itu tergantung orangnya. Mau berubah atau tidak. Kita punya pikiran kenapa tidak langsung ngomong ke pihak kecamatan saja. Kalau butuh pekerjaan dan bantuan pasti bisa. Kalau semuanya diomongkan baik-baik pasti ada solusi," tegas Jarwo.
Tonton juga 'Kawasan Dolly Sudah Move On dari Prostitusi':
(lll/lll)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini