Bahkan Ketua RT 5 RW 3 Putat Jaya, Nirwono Supriyadi membenarkan jika warga yang menuntut kesejahteraan ke Pemkot Surabaya bukan warga asli Jarak-Dolly.
"Mereka adalah bukan warga Jarak dan Dolly, kalau ditanyai KTP mereka tidak bisa menjawab. Hanya sebagian saja yang ber-KTP Surabaya. Namun bukan warga terdampak eks-lokalisasi," kata Nirwono di sela aksi di depan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jalan Arjuno, Jumat (31/8/2018).
Pihaknya, jelas Nirwono, meyakini jika sekelompok orang itu bukan warga asli Jarak-Dolly. "Coba saja tanya KTP-nya, apa asli warga Jarak-Dolly, pasti mereka tidak berkutik. Mereka dari luar Jarak-Dolly kok," tegasnya dengan berapi-api.
"Bayangkan saja jika lokalisasi dihidupkan, masak rumah musik bersebelahan di pinggir mushola dihidupkan kembali, kan tidak mungkin," tambahnya.
Selain menolak gugatan class action mengatasnamakan warga Jarak-Dolly, mereka juga menuntut tidak ada lagi prostitusi berkedok rumah-rumah musik. Dengan adanya prostitusi dibuka kembali, membuat aktivitas warga menjadi tidak bebas dan memiliki beban mental.
Warga Jarak-Dolly menolak lokalisasi dihidupkan kembali. Penolakan itu dilakukan dengan melakukan aksi di depan PN Surabaya, Jalan Arjuno. Selama 2 hari mereka melakukan aksi dengan membawa poster dan hasil UKM-UKM yang didirikan warga sendiri.
Pasca penutupan lokalisasi, warga mendapat pelatihan dari Pemkot Surabaya, mulai dari pelatihan membuat sandal hotel Surabaya, sepatu, membatik, tempe, samiler, sirup, sambel rujak dan lain-lain. (fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini