Berdasarkan catatan detikcom, Jumat (24/8/2018), rumpun pasal terkait pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon yaitu Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Setara, Desantara Foundation, YLBHI, Abdurrahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo dan Maman Imanul Haq. Mereka meminta peraturan terkait penistaan agama dihapus. Tapi apa kata MK?
"Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Mahfud MD saat menjabat sebagai Ketua MK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putusan itu diketok pada 19 April 2010. Putusan tidak bulat, hakim konstitusi Maria Faria Indarti setuju agar permohonan itu dikabulkan, sedangkan hakim konstitusi Harjono setuju dengan putusan MK itu, tapi memiliki alasan yang berbeda.
"Ketidakidealan pelaksanaan UU Pencegahan Penodaan Agama dalam lingkup kontekstual terjadi karena kesalahan penerapan, sehingga tidak berarti harus menggugurkan norma yang ada di dalam UU Pencegahan Penodaan Agama," papar majelis.
Menurut MK, UU Pencegahan Penodaan Agama, pada pokoknya mengatur dua aspek pembatasan atas kebebasan beragama yaitu pembatasan yang bersifat administratif dan pembatasan yang bersifat pidana. Pembatasan administratif yaitu larangan di muka umum untuk dengan sengaja melakukan penafsiran tentang suatu agama atau melakukan kegiatan, yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran suatu agama yang dianut di Indonesia yang sanksinya bersifat administratif yang dimulai dari peringatan sampai dengan pelarangan serta pembubaran organisasi.
Sedangkan larangan yang bersifat pidana yaitu larangan terhadap setiap orang yang dengan sengaja mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
"Lagipula Pasal 3 UU Pencegahan Penodaan Agama merupakan ultimum remedium manakala sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak efektif," ujar Mahfud.
Terkait Pasal 156 yang diterapkan ke Meiliana, juga pernah digugat ke MK. Penggugat yaitu penganut Syiah di Madura, Tajul Muluk. MK menolak untuk menghapus pasal itu karena
merupakan bagian dari delik-delik penyebaran kebencian.
Tujuan pasal itu untuk menjaga ketentraman dan ketertiban umum di kalangan penduduk jangan sampai terkena berbagai macam hasutan yang mengacau dan memecah belah dengan jalan berpidato, tulisan, gambar dan lain sebagainya di depan umum atau di media massa.
"Oleh karena itu, penentuan apakah perbuatan seseorang telah memenuhi sifat-sifat tersebut merupakan kewenangan dari hakim pengadilan umum yang memutus dan vonis yang dijatuhkan merupakan wujud dari pertimbangan hakim dalam memberikan keadilan sesuai dengan karakteristik kasus masing-masing. Hal tersebut merupakan permasalahan dari penerapan hukum dan bukan permasalahan konstitusionalitas," ujar Ketua MK Akil Mochtar pada 9 April 2013.
Tonton juga video: 'Meiliana Divonis 18 Bulan, DPR: Islam Harus Arif dan Bijaksana'
(asp/dkp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini