Vonis penjara itu dijatuhkan karena hakim berdalih si anak telah menggugurkan kandungannya. Putusan itupun dinilai mengoyak batas nalar keadilan. Majelis hakim PN Muara Bulian pun dilaporkan ke Komisi Yudisial.
"Yang namanya korban harusnya dapat pendampingan, ternyata dia malah dapat vonis hukum karena dia melakukan aborsi," kata perwakilan Kesatuan Alumni Atma Jaya, Popo bersama kelompok masyarakat lainnya ke pimpinan Komisi Yudisial (KY) di Gedung KY, Jalan Kramat Raya, Jakpus, Senin (30/7) kemarin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
LSM Save All Women and Girls, Nanda Dwintasari juga menyerukan hal yang sama. Nanda menyebutkan kasus di atas mengacu pada Peraturan Pemerinntah No 61 tentang Kesehatan Reproduksi. Yaitu aborsi dibolehkan dengan pengecualian salah satunya itu korban perkosaan.
LBH APIK mengaku sangat prihatin dengam vonis itu. Sebagai lembaga yang biasa membela hak-hak perempuan dan anak, kasus di Jambi cukup mencengangkan.
"Bagaimana kasus ini bukan dilihat sebagai kasus anak di hadapan hukum, tapi sebagai kasus umum. Sebetulnya dalam UU Kesehatan untuk anak yang mengalami kasus perkosaan itu diperbolehkan untuk aborsi. Di Indonesia sosialaisai terhadap hak itu masih kurang. Yang ada adalah kriminalisasi. Pendampingan terhadap kasus perkosaan butuh waktu yang sangat lama dan menimbukan traumatis yang cukup dalam," kata perwakilan LBH APIK, Husma Azumar.
Sementara itu, KPAI menyoroti pola pengasuhan yang bermasalah hingga menyebabkan tindakan pemerkosaan. KPAI juga mendorong pihak terkait untuk mempertimbangkan kondisi korban yang akhirnya melakukan aborsi akibat diperkosa oleh kakaknya.
"Maka tentu saja untuk kasus aborsi akibat pemerkosaan harus benar-benar dipertimbangkan juga aspek korban untuk menentukan sangsi pidananya, kepentingan terbaik bagi anak yang berada dalam proses peradilan menjadi prioritas untuk diselamatkan," tuturnya.
Tak lama berselang muncul petisi menolak vonis tersebut di www.change.org. Hingga Kamis (2/8) pukul 17.00 WIB petisi itu telah ditangatangani 9.879 orang.
"Hukum harus mencerminkan rasa keadilan dan kemanusiaan. Hukum tidak boleh kaku hanya mencerminkan keadilan tetapi menghilangkan rasa kemanusiaan. Bagaimana mungkin korban malah ikut dihukum?" kata seorang pemberi petisi, Piter Kristianto.
Sementara Miranti Ayudya berpendapat sangat tidak berperikemanusiaan ketika seseorang sudah mendapat musibah yang merusak dirinya malah dikenai hukuman pula.
"Hukum kita telah banyak mencederai rasa keadilan korban. Jangankan memberi keadilan bagi korban, yang ada justru mengkriminalisasi korban," tutur Dindin Syaripudin.
Reaksi penolakan masyarakat itu didengar majelis hakim Pengadilan Tinggu (PT) Jambi. PT Jambi akhirnya mengeluarkan anak korban pemerkosaan itu dari penjara, meski si anak belum bebas murni karena putusan banding belum diketok.
"Alasan majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jambi menetapkan penangguhan penahanan anak berhadapan dengan hukum (ABH) adalah untuk alasan kemanusiaan dan demi kesinambungan pendidikan ABH tersebut," kata Ketua Pengadilan Negeri (PN) Muara Bulian, Derman Nababan, kepada detikcom, Kamis (2/8).
Selama ini, korban pemerkosaan itu ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Wanita Muara Bulian di Sungai Buluh. Derman menambahkan putusan PN Muara Bulian terhadap anak tersebut kini masih proses banding.
"Penetapan penangguhan ABH tersebut sejak tanggal 31 Juli 2018, jadi ABH tersebut tidak ditahan lagi," ujar Derman.
Kasus ini bermula saat si kakak memperkosa adiknya pada September 2017. Pemicunya, si kakak menonton film porno. Si kakak berusia 17 tahun, sedangkan sang adik 15 tahun. Pada 19 Juli 2018, PN Muara Bulian menjatuhkan hukuman:
1. Kakak dihukum 2 tahun penjara dan 3 bulan pelatihan kerja.
2. Adik dihukum 6 bulan penjara dengan pelatihan kerja 3 bulan.
Adapun berkas si ibu sudah diserahkan ke pengadilan.
Tonton juga video: 'Komnas Perempuan Nilai Kebijakan Pemerintah Belum Maksimal'
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini