Fakta Hukum
Kasus bermula saat si kakak memperkosa adiknya pada September 2017. Pemicunya, si kakak menonton film porno. Si kakak usianya 17 tahun, si adik usianya 15 tahun.
Akibat perkosaan itu, si adik hamil dan ia kemudian menggugurkan janinnya pada usia kandungan 5 bulan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proses di Kepolisian
1. Ibu, disangkakan turut serta menjadi pelaku aborsi.
2. Anak laki-laki jadi tersangka pemerkosaan adiknya.
3. Anak perempuan, jadi tersangka aborsi janin hasil perkosaan.
"Yang jadi masalah kenapa korban pemerkosaan dihukum? Nah ada suatu pandangan dari penyidik bahwa fakta hukumnya itu korban melakukan aborsi. Itu kan menghilangkan nyawa juga. Hukum harus tegak. Tetapi ada lex specialis karena masih di bawah umur," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Mohammad Iqbal.
Putusan Hakim
Pada 19 Juli 2018, PN Muara Bulian menjatuhkan hukuman:
1. Kakak dihukum 2 tahun penjara dan 3 bulan pelatihan kerja.
2. Adik dihukum 6 bulan penjara dengan pelatihan kerja 3 bulan.
(Si ibu masih diproses di kepolisian, berkas baru diserahkan ke pengadilan)
Dasar Hukum Hakim
Pasal 31 ayat 1 PP Nomor 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi:
Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat pemerkosaan.
Pasal 31 ayat 2 disebutkan:
Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
"Itu menurut kami sudah tepat, sudah memenuhi visi keadilan," kata juru bicara PN Muara Bulian, Listyo Arif Budiman.
Pendapat Komnas Perempuan
Menurut Komnas Perempuan, hakim Pengadilan Negeri (PN) Muara Bulian, bersifat normatif dalam memutus perkara tersebut.
"Kami melihat bahwa putusan PN sama sekali tidak melihat perspektif korban. Hakim hanya melihat unsur pidananya, hakim berpikir normatif saja tapi tidak melihat latar belakang terdakwa sebagai korban," ujar Komisioner Komnas Perempuan, Nahel.
Pendapat Psikolog
Vitria Lazzarini, psikolog dari Yayasan Pulih mengenai kasus tersebut. Menurutnya dalam kasus ini sudah terlihat jelas bahwa penanganan pada korban belum maksimal sehingga korban mengalami viktimisasi.
"Pada kasus ini kita bicara dalam konteks anak. Anak yang kemampuan berpikirnya masih sangat berkembang dan ia sebagai korban sangat membutuhkan pendampingan yang optimal lintas lembaga layanan," ujarnya melalui pesan singkat.
Masyarakat
LSM Save All Women and Girls, Nanda Dwintasari menyebutkan kasus di atas mengacu pada Peraturan Pemerinntah No 61 tentang Kesehatan Reproduksi. Yaitu aborsi dibolehkan dengan pengecualian salah satunya itu korban perkosaan.
"Ada sosialisasi yang kurang dari pemerintah sehingga masyarakat kurang paham. Jadi belum dapat sepenuhnya diimplementasikan. Tapi kita mengetahui bahwa korban pemerkosaan juga boleh melakukan aborsi ya. Itu harus menjadi salah satu tolok ukur juga," cetus Nanda.
Tonton juga video: 'Komnas Perempuan Nilai Kebijakan Pemerintah Belum Maksimal'
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini