"KLHK melalui Ditjen PDASHL telah menyusun operasionalisasi corrective actions, yang merupakan arahan Presiden dan Menteri LHK. Aksi di sini bukan hanya untuk menanam, tapi juga membangun hutan," tutur Direktur Konservasi Tanah dan Air Muhammad Firman dalam keterangan tertulisnya, Kamis (2/8/2018).
Hal itu ia sampaikan saat mewakili Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) membuka Workshop Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) di Bogor, Rabu (1/8).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dua kebijakan utama dalam corrective actions dimaksud adalah lokasi RHL harus berada di dalam kawasan hutan, di mana terdapat pengelola hutan atau pemangku hutan, serta tidak adanya pembatasan jenis tanaman RHL yang disesuaikan dengan kondisi lahan dan keinginan masyarakat," jelas Firman.
Ia menambahkan pengelolaan kawasan hutan yang dimaksud bukan merupakan wilayah konsesi, melainkan merupakan kesatuan pengelolaan hutan (KPH), kawasan konservasi, dan lokasi perhutanan sosial.
Sementara itu, menurut Firman, keberadaan pemangku kawasan dipandang sangat penting untuk mendukung optimalisasi pemantauan dan pemeliharaan penanaman. Keterlibatan masyarakat dalam pemilihan jenis tanaman keras maupun tanaman MPTS/HHBK juga sangat penting agar pelaksanaan RHL dapat berhasil.
"Pemilihan jenis tanaman ini merupakan implementasi perencanaan partisipatif sehingga masyarakat diakomodasi kebutuhannya dan bersemangat untuk melakukan inovasi dalam penanaman," lanjut Firman.
Ia juga menjelaskan kemampuan rata-rata RHL melalui dana APBN adalah 200 ribu hektare per tahun, sedangkan target RHL per tahun adalah 1,1 juta hektare. Untuk itu, menurut Firman, diperlukan dukungan dari seluruh pihak, baik masyarakat, pemerintah daerah, maupun pihak swasta.
"Masyarakat harus dipandang sebagai aset sosial, bukan sebagai perambah, sehingga harus didayagunakan. RHL dirancang tidak hanya untuk tujuan ekologis, tapi juga untuk tujuan ekonomi yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, yaitu dengan pemanfaatan HHBK, baik melalui skema perhutanan sosial maupun kemitraan," jelas Firman.
Sementara itu, Masyarakat Konservasi Tanah dan Air (MKTI) merupakan organisasi profesi yang didirikan pada 4 November 1998. Organisasi ini merupakan wadah untuk menggalang perhatian, minat, dan daya upaya anggota masyarakat dari berbagai lingkungan, bidang profesi, serta tingkat keahlian yang berkenaan dengan konservasi tanah dan air.
Mengusung tema 'Menyongsong Keberhasilan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2019', Workshop MKTI dilaksanakan oleh Balai PDASHL Citarum Ciliwung. Workshop ini dihadiri kurang-lebih 150 peserta yang terdiri atas perwakilan kementerian/lembaga, jajaran KLHK, pengurus MKTI, Kodam III Siliwangi, kepala UPT Ditjen PDASHL seluruh Indonesia, instansi pemerintah daerah, dan akademisi.
"Melalui workshop ini, diharapkan akan diperoleh strategi-strategi prakondisi di lapangan yang dapat mendukung keberhasilan dalam membangun hutan berbasis masyarakat," tutur Kepala Balai PDAS HL Citarum-Ciliwung, Djonli.
Tonton juga video: 'Peringatan Hari Hutan di Tengah Kota Jakarta'
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini