"Kesalahan pertama soal legal standing. Perindo bagi saya tidak punya legal standing apapun untuk cawapres. Karena yang berhak mengajukan presiden dan wapres adalah partai yang punya kursi di Pemilu 2014," kata Feri dalam 'Diskusi Konstitusi dan Legispridensi STHI Jentera' di Puri Imperial, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (23/7/2018).
Ia melanjutkan, Perindo seharusnya mengajukan gugatan ambang batas pencapresan (Presidential Treshold) 20 persen terlebih dahulu sebelum menggugat aturan cawapres. "Seharusnya Perindo mengajukan ambang batas, bukan melompat. Apa hubungannya Perindo dan JK (Jusuf Kalla)?" ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kesalahan kedua, salah memaknai pasal 7. Makna aslinya juga sudah disampaikan, presiden dan wapres memangku jabatan 5 tahun dan bisa dipilih lagi untuk jabatan yang sama hanya satu kali. Kurang jelas apa?" sebut Feri.
"Hanya sesudahnya, sesudahnya (berarti) bisa langsung, bisa melewati satu periode. Kalau ada mencoba menafsirkan pasal 7 (secara) berbeda, harus membaca dengan kaca mata yang benar. Jadi pas membacanya," sambungnya.
Tak hanya itu, ia juga mengatakan, akan ada dua akibat yang fatal jika gugatan tersebut dikabulkan. Pertama, dikatakan oleh Feri, jika dikabulkan juga akan terasa di tubuh Mahkamah Konstitusi (MK) itu sendiri.
"Dua akibat fatal kalau MK mengabulkan. Akibat pertama akan berdampak seluruh lembaga yang ada, dan tubuh MK sendiri. Seluruh pimpinan negara, komisi, badan negara. Hampir semua (merasakan), termasuk MK," ungkapnya.
Selain itu, ia juga mengungkapkan, jika gugatan itu dikabulkan akan berdampak pada kaderisasi kepemimpinan nasional.
"Dampak kedua, soal kaderisasi kepimpinan nasional. Bukan benci JK, tapi JK larinya ke dua (hal) saja, satu (jadi) capres, kedua guru bangsa. Kalau nggak mau (jadi) capres ya (jadi) guru bangsa. Itu tradisi presidential," tuturnya. (yas/tor)