"Ini menunjukkan karakter pengadilan Indonesia yang masih bersifat sulit mengikuti perkembangan sosial masyarakat, konservatif, tidak akuntabel dan jauh dari cita-cita keadilan," ujar ahli perundang-undangan Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Kamis (18/7/2018).
Peraturan KPU itu digugat karena dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan UU terkait. Sebab, MK memutuskan eks terpidana boleh nyaleg dengan syarat tertentu.
"Padahal telah terbukti selama ini bahwa Judicial Review di MA yang hanya memeriksa dokumen tanpa memeriksa para pihak, saksi serta alat bukti secara terbuka telah menghadirkan putusan yang kontroversial, kurang diterima dan dipatuhi para pihak yang bersengketa serta menimbulkan permasalahan hukum baru di masyarakat," tegas Bayu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya persidangan tertutup selama ini adalah tafsiran sepihak MA saja yang kemudian dipelihara melalui praktik. Patut diduga tafsiran sepihak oleh MA untuk menjadikan persidangan Judicial Review menjadi tertutup adalah wujud kemalasan untuk menangani perkara judicial review ini serta watak arogansi hakim agung untuk tidak mau diawasi oleh publik dalam pemeriksaan perkara Judicial Review ini," cetus Bayu.
Kedua, persidangan Judicial Review di MA yang memeriksa legalitas norma peraturan perundang-undangan yang diuji adalah berbeda dengan perkara kasasi di kasus perdata dan pidana. Perbedaannya adalah kasasi di MA untuk perkara perdata dan pidana sebelumnya telah melalui pemeriksaan secara terbuka oleh pengadilan di bawahnya, sementara untuk perkara Judicial Review pemeriksaan di MA adalah pemeriksaan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
"Untuk itu tidak tepat jika pemeriksaan Judicial Review di MA disamakan dengan pemeriksaan kasasi perkara perdata dan pidana sebagai judex juris (penerapan hukum) saja tanpa menggelar pemeriksaan fakta-fakta dan bukti (judex facti)," ujar Direktur Puskapsi Universitas Jember itu. (asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini