"Ketentuan yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) tersebut melanggar hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin oleh konstitusi melalui Pasal 28J ayat (2), Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum," kata ahli hukum tata negara dari Universitas Udayana Bali, Jimmy Usfunan kepada detikcom, Minggu (24/6/2018).
Secara filosofis, pembatasan hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dengan persetujuan rakyat itu sendiri melalui wakil-wakilnya. Sehingga hal inilah yang memunculkan konstruksi Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian agar menjaga hak konstitusional warga negara dan tidak dibatasi secara sewenang-wenang oleh pembentuk UU, khususnya perihal pembatasan hak politik sudah ada Putusan MK Nomor No. 42/PUU-XIII/2015, yang konstruksi ketentuannya diikuti Pasal 240 ayat (1) UU Pemilu," ujar Jimmy yang sedang ada di Fraknfurt, Jerman guna mengikuti short course tentang hukum ketatanegaraan itu.
Selain itu, dalam hukum positif yaitu Pasal 76 ayat (3) UU Pemilu menekankan peraturan KPU diundangkan. Oleh sebab itu, sikap KPU yang memaksakan PKPU terkait larangan eks koruptor/napi nyaleg tanpa pengundangan dinilai menunjukkan ketidaktaatan pada sistem hukum yang ada.
"Kewenangan apa yang dimiliki oleh KPU sehingga mencabut hak konstitusional warga negara? Apalagi tindakan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Putusan MK dan undang-undang yang ada," pungkas Jimmy menegaskan.
Simak juga pernyataan 'Waka DPR Agus Hermanto: Eks Napi Korupsi Tentu Nggak Bisa Nyaleg':
(asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini