"YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), dan LBH Masyarakat menggugat Presiden, Menkum HAM, dan DPR karena lalai tidak membuat terjemahan resmi KUHP berbahasa Indonesia resmi," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Jumat (8/6/2018).
Dalam gugatan bernomor 330/PDT.G/2018/PN.JKT.PST ini, mereka menuntut menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan lalai tidak membuat terjemahan resmi KUHP berbahasa Indonesia resmi. Mereka juga menuntut agar pengadilan memerintahkan para tergugat membuat terjemahan resmi bahasa Indonesia di dalam KUHP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Redaksi permohonan maaf yang diminta sebagai berikut:
"Saya Presiden Republik Indonesia/Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia/Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menyatakan permohonan maaf atas perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan karena tidak mengesahkan terjemahan resmi Kitab Undang-undang Hukum Pidana," ucap Isnur.
Selain itu, Isnur menunjukkan sejumlah perbedaan redaksi pasal dari KUHP yang diterjemahkan oleh 3 orang.
Pertama adalah KUHP yang diterjemahkan oleh Prof Moeljatno dan diterbitkan PT Bumi Aksara pada 2008. Isnur mencontohkan di pasal 55 ayat (1), bunyinya:
'Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana'.
Baca juga: Panja-KPK Belum Temukan Titik Temu di RKUHP |
Berikutnya, ada KUHP yang diterjemahkan oleh Andi Hamzah, terbitan Rineka Cipta pada 2007. Di Pasal 55 ayat (1) KUHP ini, bunyinya:
'Dipidana sebagai pembuat delik'.
Selain itu, dalam KUHP yang diterjemahkan oleh R Soesilo, terbitan Politea Bogor, bunyi Pasal 55 ayat (1) juga berbeda, yakni:
'Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana'.
Atas dasar itu, Isnur menyarankan pemerintah mengakui saja salah satu terjemahan KUHP. Alasannya, agar ada 1 KUHP yang digunakan oleh semua orang. (haf/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini