KPK: Hukuman Koruptor di RKUHP Lebih Rendah dari UU Tipikor

KPK: Hukuman Koruptor di RKUHP Lebih Rendah dari UU Tipikor

Nur Indah Fatmawati - detikNews
Rabu, 30 Mei 2018 19:45 WIB
Foto: Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. (Ari Saputra-detikcom)
Jakarta - KPK menolak pasal-pasal tindak pidana khusus dimasukkan dalam RUU KUHP, termasuk kasus korupsi. KPK menyatakan adanya disparitas atau kesenjangan antara hukuman koruptor yang diatur dalam RUU KUHP dengan UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

"RKUHP tidak mengatur tindak pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Padahal ini penting banget, karena kalau denda itu biasanya terlalu sedikit. Kalau kita selama ini kita mendapatkan pengembalian aset itu kita dapat dengan uang pengganti, tetapi di dalam KUHP tidak dikenali," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam konferensi pers di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (30/5/2018).
Selain itu, Syarif menyebut RKUHP mengatur pengurangan ancaman pidana 1/3 terhadap percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat tindak pidana korupsi. Padahal, lanjutnya, dalam UU Tipikor sudah dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi yang sempurna.

Syarif juga menuturkan, dalam RKUHP mengatur pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif. Keringanan lainnya yaitu penurunan ancaman pidana denda terhadap koruptor.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini menurut draf kami yang terima. Jadi dendanya diturunkan, uang pengganti bahkan dihilangkan," ujar Syarif.

Beberapa tindak pidana korupsi dari UU Tipikor juga disebutnya masuk ke dalam Bab Tindak Pidana Umum RKUHP. Ini justru dinilai Syarif berimplikasi pada status kelembagaan KPK.

"Kalau dia masuk tindak pidana umum berarti relevansi KPK sebagai lembaga khusus itu kan jadi dipertanyakan lagi. Jadi bisa akan menimbulkan kendala hukum yang menurut kami akan lebih susah untuk diselesaikan," kata Syarif.

Syarif juga menyebut UU Tipikor lebih mudah direvisi daripada KUHP nantinya. Padahal, menurut Syarif, modus operandi korupsi itu bergerak lebih cepat.

Ada pula soal kodifikasi RKUHP yang tidak berhasil mensistematisasi dan menyatukan ketentuan hukum pidana dalam satu kitab undang-undang. Ini tidak konsisten dengan UU Terorisme yang baru saja diketok. Tidak hanya soal terorisme, Syarif juga menyebut Narkotika sebagai UU khusus lainnya.

"Kebayang juga kalau misalnya BNN juga nggak setuju masuk, itu kan bahan narkotika itu tiap hari itu kan bertambah. Jadi kalau dia masuk dalam KUHP nanti dia akan masuk dengan seluruh lampirannya. Jadi RKUHP itu agak aneh juga nanti kelihatannya. Dan kalau di Belanda ada juga memang ketentuan-ketentuan pidana yang ada di luar KUHP Belanda, kalau kita mau contoh yang beraliran kodifikasi," urai Syarif.
Yang terakhir, Syarif menyatakan tidak ada konsep dan parameter yang jelas untuk memasukkan aturan di luar KUHP ke dalam RKUHP. Tidak hanya KPK, menurut Syarif, BNN dan Komnas HAM juga satu suara.

"Oleh katena itu memang banyak seperti BNN tidak mau ikutan masuk, Komnas HAM juga sebagian itu tidak ikutan masuk ke dalam. Karena UU ini memang berkembang dan diatur berdasarkan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan negara RI," paparnya.

(nif/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads