"Harus memastikan pelibatan TNI tidak berpotensi berlebihan, overlap, dan disalahgunakan. Tiga hal ini yang harus menjadi concern dari perumusan aturan turunan dari UU Antiterorisme kita yang baru ini," kata Khairul kepada wartawan, Sabtu (26/5/2018).
Karena itu, peraturan presiden (perpres) yang nantinya dikeluarkan harus mengatur jelas soal pelibatan TNI dalam upaya penanggulangan terorisme. Perpres itu, sebut Khairul, harus mempertimbangkan ketiga hal di atas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika tidak, maka pelibatan TNI bisa jadi tidak maksimal atau melebihi kewenangan yang tidak seharusnya. Misalnya, Khairul mengatakan, ada potensi tumpang tindih tugas antara TNI dan Polri dalam penangaan ini.
Selain itu, perpres harus memastikan TNI tak diberikan kewenangan berlebih dalam menanggulangi terorisme. Dikhawatirkan hal tersebut berujung pada penyalahgunaan wewenang.
"Kita kan tahu UU Antiterorisme ini sifatnya cukup represif juga ya. Jangan sampai pada pasal-pasal yang krusial terkait misalnya orang-orang yang dicurigai bagian dari jaringan, ada upaya penindakan dini. Itu yang kemudian disalahgunakan, katakamlah untuk melemahkan lawan politik misalnya. Itu yang tidak kita inginkan terjadi," ujar Khairul.
"Okelah misal pemerintah sekarang berkomitmen untuk berhati-hati dalam pelaksanaan undang-undang ini. Tapi kan kita tidak bisa memastikan masa depan. Apakah rezim-rezim berikutnya akan sama? Jadi musti dipastikan undang-undang ini tidak punya potensi malpraktik," imbuh dia.
Khairul kemudian menjelaskan, idealnya pelibatan TNI dalam upaya penanggulangan terorisme berada di skema pencegahan. Ruang lingkup TNI ialah dalam rangka pertukaran informasi dengan Polri.
"Saya lebih mudah kalau membayangkannya pelibatan itu dalam hal yang tidak tampak di permukaan. Seperti dalam bentuk kerja sama atau petukaran informasi antara TNI dan Polri atau di bawah payung BNPT misalnya. Itu kan skema pencegahan juga," sebut Khairul.
"Kemudian yang kedua, misalnya dalam hal pemantauan TNI dilibatkan. Tapi tentunya bukan dalam aksi penindakan yang terkait penegakan hukum," sambungnya.
Sementara itu, dalam bentuk penindakan di lapangan, Khairul mengatakan TNI 'layak diturunkan' untuk menangani aksi teror berbentuk gerakan pemberontakan atau kelompok gerilya. Hal itu pernah terjadi dalam operasi penangkapan teroris Santoso di Poso, Sulawesi Tengah pada 2016.
Lain halnya dengan aksi peristiwa bom yang terjadi di Surabawa dan Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi beberapa pekan lalu. Menurut Khairul, dalam skala ini keterlibatan TNI hanya sekadar untuk membantu pengamanan. Sementara tugas utamanya ialah tetap pada Polri.
Sebab, peristiwa seperti yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo sudah masuk dalam ranah penegakan hukum. TNI tak memiliki kewenangan dalam hal tersebut.
"Kalau misal seperti di Surabaya itukan aksi sudah terjadi. Jadi kemudian yang harus dilakukan adalah upaya penegakan hukum. Artinya pengungkapan siapapun yang terlibat, penangkapan, penindakan pada siapapun yang diduga terlibat itu adalah skema penegakan hukum," jelas Khairul.
"Nah jika kemudian TNI dilibatkan dalam hal itu, kehadiran TNI mustinya hanya dimaknai sebagai upaya menunjukkan bahwa negara hadir dan ingin menjamin keamanan masyarakat. Sehingga TNI dilibatkan supaya secara mental masyarakat yakin bahwa negara serius dalam melindungi. Jadi hanya itu saja. Tapi upaya penegakan hukumnya itu domainnya Polri," tutur dia. (tsa/bag)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini