Selama di sana, dia berteman dan bergaul dengan para napol dari berbagai latar belakang ideologi, baik dari kelompok kanan maupun kiri. Mereka ada yang dipenjara karena terlibat G-30 September 1965, PKI, kasus Lampung, Organisasi Papua Merdeka, tahanan kasus Negara Islam Indonesia (NII), hingga tokoh Timor Leste Xanana Gusmao.
Cerita persahabatan dengan napol ekstrim kanan ini dia tulis dalam bukunya Dunia di Balik Jeruji: Kesaksian Perlawanan. Wilson dan rekan sesama PRD disambut oleh napol kasus Lampung Sudarsono dan Fauzi Isman. Darsono dikenai vonis 17 tahun dan Fauzi 20 tahun, dan menghuni sel di Blok III F. Mereka-lah yang memberi makan kepada semua orang-orang PRD selama masa awal menjalani kehidupan di Lapas Cipinang.
Hubungan dengan tahanan NII juga tak kalah mesra. Wilson berada satu blok bersama tiga tahanan NII, salah seorang dari mereka, bernama Arsyad, menghabiskan waktu di sel napol PRD untuk membaca koran, majalah, dan menonton televisi. Kehadiran Arsyad juga membantu karena mahir melakukan pengobatan tradisional menggunakan tawon dan berhasil mengobati penyakit hernia yang diderita napol PRD, Petrus Hari Hariyanto.
Wilson juga meyakinkan tahanan NII ini agar mau didampingi pembela dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Semula mereka menolak karena beranggapan hanya menjadi bahan liputan media massa dan mendapat hukuman lebih berat. Wilson justru berpendapat sebaliknya, dan terbukti. Berkat pendampingan YLBHI, kedua tahanan NII itu akhirnya hanya diganjar 5-6 bulan penjara.
Kedekatan dengan napol ekstrim kanan hanya sepenggal saja . Wilson menceritakan semua napol dari berbagai latar belakang ini juga tergabung dalam Paguyuban Besuk. Paguyuban yang dipimpin oleh napol PKI, Asep Suryawan, berkumpul di ruang besukan sebelum waktu besuk. Mereka membicarakan kebutuhan napol soal kesehatan, makanan, hingga keluarga yang ingin membesuk tapi kekurangan dana.
"Kebutuhan ini disampaikan kepada tim relawan yang dibentuk oleh Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Romo Sandyawan Sumardi. Mereka akan menyampaikan kepada Komite Internasional Palang Merah (ICRC) untuk turut dibantu," jelasnya.
Kehangatan dalam hubungan napol selama di penjara ini terbalik dengan panasnya kondisi politik selepas reformasi dan riuhnya media sosial belakangan. Wilson mengungkap perbedaan ideologi para napol tak pernah merusak hubungan antar individu dan itulah reformasi Indonesia.
"Menurut saya pengalaman ini luar biasa, mambangun pondasi baru untuk Indonesia di awal reformasi, bukan mewarisi orba," jelasnya.
Wilsong mengaku, saat dipenjara kala itu sempat membayangkan, berimajinasi, inilah demokrasi ideal di Indonesia. "Boleh beda ideologi tapi kepentingan bersama harus bisa diputuskan bersama tanpa mendahulukan kepentingan ideologi masing-masing," ujarnya saat berbincang dengan detik.com, pekan lalu.
Mantan Ketua Umum PRD Budiman Sudjatmiko yang masuk penjara bersama Wilson mengakui kisah indah di dalam penjara ini. Menurutnya kedewasaan berpikir napol-lah yang membentuk hubungan ini. Ia masih ingat seluruh napol membangun persahabatan, baik ketika mereka beribadah maupun ketika bermain bulu tangkis.
Hubungan napol kala itu terjalin karena kesabaran, kesadaran, dan pandangan politik yang tulus. Bahkan Budiman meyakini, hubungan baik Indonesia dengan Timor-Timur pasca negara itu berpisah dengan NKRI juga terjalin baik karena Xanana Gusmao memiliki pengalaman baik ketika di Cipinang ini.
"Mungkin para elit dan politisi perlu mengalami kehidupan seperti ini untuk menjadi lebih baik," ujarnya.
(ayo/jat)