"Perbuataan terdakwa (Syafruddin Arsyad Temenggung) tidak merugikan negara karena kerugian negara baru muncul pada saat dijual piutang petani tambak Rp 4,8 triliun dengan harga Rp 220 miliar oleh menteri keuangan pada tahun 2007," ujar pengacara Syafruddin, Ahmad Yani, saat membacakan eksepsi atau nota keberatan terhadap dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (21/5/2018).
Ahmad Yani menyatakan audit kerugian negara yang dilakukan BPK pada tahun 2017 tidak sesuai standar. Apalagi saat penghitungan negara, menurut Ahmad Yani, tidak melibatkan pihak ketiga yaitu pejabat BPPN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Ahmad Yani, BPK sudah mengeluarkan audit kerugian negara terkait BLBI pada tahun 2002 dan 2006. Kedua auditor itu berbeda dengan audit tahun 2017.
Audit BPK tahun 2002 dan 2006 disebut tidak menyebutkan penerbitan surat keterangan lunas (SKL) dari BPPN terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimiliki pengusaha Sjamsul Nursalim sesuai kebijakan pemerintah. Menurut Ahmad Yani, hal itu tidak menyatakan adanya kerugian negara.
"Dalam pemeriksaan BPK tahun sebelumnya 2002 dan 2006 beda dengan 2017 yang hnya simpulkan data sekunder bukan primer. Audit tahun 2002 telah final dan closing dan tahun 2006 telah sesuai perjanjian master settlement aqcuisition agreement (MSAA) dan penerbitan SKL layak karena pemegang saham sudah menyepakati MSAA," kata Ahmad Yani.
Dalam perkara ini, Syafruddin didakwa merugikan negara sebesar Rp 4,5 triliun terkait BLBI. Kerugian negara itu berkaitan dengan penerbitan SKL dari BPPN terhadap BDNI yang dimiliki pengusaha Sjamsul Nursalim.
Jaksa menyebut Syafruddin menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira serta surat pemenuhan kewajiban pemegang saham meski Sjamsul belum menyelesaikan kewajibannya yang seolah-olah piutang lancar atau misrepresentasi.
BDNI pun dikategorikan sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum atau transaksi yang tidak wajar yang menguntungkan Sjamsul Nursalim. Sjamsul kemudian diwajibkan mengikut Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).
BPPN kemudian dibantu financial advisor membuat neraca penutupan BDNI dalam rangka menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) dengan rumus jumlah kewajiban dikurangi jumlah aset. Saat itu disepakati jumlah kewajiban sebesar Rp 47.258.000.000.000 dikurangi jumlah aset sebesar Rp 18.850.000.000.000
"Sehingga besar JKPS adalah sejumlah Rp 28.408.000.000.000," kata jaksa KPK dalam dakwaan.
(fai/dhn)