"Memperkaya Sjamsul Nursalim sejumlah Rp 4.580.000.000.000," ujar jaksa KPK Haerudin saat membacakan dakwaan Syafruddin di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (14/5/2018).
Kongkalikong antara Syafruddin dan Sjamsul berawal dari kucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada BDNI. Saat itu, status BDNI sudah dinyatakan sebagai bank beku operasi atau BBO. BDNI pun mendapatkan kucuran BLBI Rp 37.039.767.000.000, yang terdiri atas fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet, dan dana talangan valas. Tak hanya itu, kucuran BLBI juga kembali disalurkan ke BDNI berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet sebesar Rp 5.492.697.000.000.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
menguntungkan Sjamsul.
"Sehingga Sjamsul Nursalim dan pihak terkait diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA)," ucap jaksa.
BPPN kemudian dibantu financial advisor, yaitu JP Morgan, Lehman Brothers, PT Dana Reksa, dan PT Bahana merumuskan berapa nilai kewajiban yang harus diganti BDNI atas penyimpangan yang dilakukannya. Hasilnya, kewajiban yang harus dibayar BDNI sebesar Rp 47,258 triliun. Rumus pembayarannya adalah JKPS tersebut dikurangi jumlah aset BDNI sebesar Rp 18,850 triliun sehingga kewajiban BDNI sebesar Rp 28,408 triliun seperti tertuang dalam Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS).
Jaksa mengatakan pembayaran JKPS itu dilakukan dengan cara pembayaran tunai Rp 1 triliun dan cara penyerahan aset Rp 27,4955 triliun. Untuk penyerahan aset itu, BPPN membentuk PT Tunas Sepadan Investama sebagai perusahaan yang mengurus penjualan aset-aset BDNI.
Dalam perjalanannya, BDNI diketahui memiliki aset berupa piutang ke petambak udang sebesar Rp 4,8 triliun. Sjamsul awalnya menyebut aset berupa piutang itu lancar, tetapi setelah diaudit ternyata macet.
BPPN, yang saat itu diketuai Glenn MS Yusuf, menyurati Sjamsul untuk mengganti Rp 4,8 triliun sebagai kerugian BPPN atas piutang macet petambak tersebut. Namun Sjamsul menolak dengan alasan utang petambak termasuk Kredit Usaha Kecil (KUK) sehingga tidak perlu pernyataan jaminan darinya. Sjamsul malah meminta BPPN merestrukturisasi kredit petambak itu.
BPPN pun merestrukturisasi utang petambak sebesar Rp 1,3 triliun. Sedangkan sisanya, yaitu Rp 3,5 triliun, dibebankan ke Sjamsul sehingga total kewajiban Sjamsul dari Rp 28,408 triliun menjadi Rp 32 triliun. Namun Sjamsul tetap menolak.
Kemudian, Syafruddin menjabat Ketua BPPN. Saat itu, dia kongkalikong dengan Dorojatun Kuntjoro-Jakti, yang menjabat Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) mengeluarkan keputusan yang menyebabkan hilangnya hak tagih negara pada Sjamsul.
Syafruddin malah kemudian mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk Sjamsul. Di akhir masa jabatannya, Syafruddin menyerahkan pertanggungjawaban aset-aset BPPN dan diketahui adanya hak tagih utang petambak sebesar Rp 1.129.851.981.252,20. Padahal jumlah itu berbeda dari nilai buku atau Aggregate Outstanding Balance (AOB), yaitu Rp 4.862.693.011.092.
"Selanjutnya oleh Direktur Jenderal Anggaran Menteri Keuangan Achmad Rochjadi melakukan penyerahan kepada Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Mohammad Syahrial. Kemudian pada tanggal 24 Januari 2005 Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan tentang penetapan nilai hak tagih petambak, selanjutnya pada tanggal 24 Mei 2007 PPA melakukan penjualan hak tagih utang petambak kepada Konsorsium Neptune dari Grup Charoen Pokphand Rp 220 miliar," kata jaksa.
Hak tagih utang petambak yang semula Rp 4,8 triliun tersebut dikurang penjualan aset Rp 220 miliar menjadi Rp 4,580 triliun. Nilai itu disebut jaksa sebagai hasil dari perbuatan Syafruddin memperkaya Sjamsul.
"Bahwa perbuatan terdakwa sebagaimana diuraikan di atas telah memperkaya orang lain, yaitu Sjamsul Nursalim, sejumlah Rp 4,580 triliun," kata jaksa. (fai/dhn)