Eks Ketua BPPN Didakwa Rugikan Negara Rp 4,5 T Terkait BLBI

Eks Ketua BPPN Didakwa Rugikan Negara Rp 4,5 T Terkait BLBI

Faiq Hidayat - detikNews
Senin, 14 Mei 2018 13:56 WIB
Sidang pembacaan dakwaan kasus BLBI yang ditangani KPK (Foto: Faiq Hidayat/detikcom)
Jakarta - Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung didakwa merugikan negara sebesar Rp 4,5 triliun terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kerugian negara itu berkaitan dengan penerbitan surat keterangan lunas (SKL) dari BPPN terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimiliki pengusaha Sjamsul Nursalim.

"Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi yaitu memperkaya Sjamsul Nursalim sejumlah Rp 4.580.000.000.000, yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara Rp 4.580.000.000.000," ujar jaksa KPK Haerudin saat membacakan surat dakwaan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (14/5/2018).


Perbuatan itu disebut jaksa KPK dilakukan Syafruddin bersama Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih S Nursalim, serta Dorojatun Kuntjoro Jakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Jaksa menyebut Syafruddin menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira serta surat pemenuhan kewajiban pemegang saham meski Sjamsul belum menyelesaikan kewajibannya yang seolah-olah piutang lancar atau misrepresentasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Awalnya pada Februari 1998, Bank Indonesia menyerahkan pembinaan dan pengawasan BDNI kepada BPPN. Kemudian pada 4 April 1998, BDNI ditetapkan sebagai Bank Take Over (BTO).

"Selanjutnya berdasarkan SK Ketua BPPN Nomor 43/BPPN/1998 tanggal 21 Agustus 1998, BDNI ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) yang pengelolaannya dilakukan oleh Tim Pemberesan yang ditunjuk BPPN dan didampingi oleh Group Head Bank Restrukturisasi," ucap jaksa.

Atas penetapan itu, BDNI mendapatkan kucuran BLBI sebesar Rp 37.039.767.000.000 pada 29 Januari 1999. Selain itu, ada juga BLBI yang disalurkan ke BDNI dalam periode sesudah tanggal 29 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet sebesar Rp 5.492.697.000.000.

"Namun penggunaan dana BLBI oleh BDNI ditemukan berbagai penyimpangan diantaranya berupa transaksi pembelian valas yang dilakukan pada saat posisi devisa netto telah melampaui ketentuan yang berlaku, melakukan penempatan baru dengan menambah saldo debet, melakukan pembayaran dana talangan kepada kreditur luar negeri untuk menutupi kewajiban nasabah group terkait, dan pemberian kredit rupiah kepada group terkait yang dananya digunakan untuk transaksi di pasar uang antar bank," kata jaksa.


BDNI pun dikategorikan sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum atau transaksi yang tidak wajar yang menguntungkan Sjamsul Nursalim. Sjamsul kemudian diwajibkan mengikut Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).

BPPN kemudian dibantu financial advisor membuat neraca penutupan BDNI dalam rangka menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) dengan rumus jumlah kewajiban dikurangi jumlah aset. Saat itu disepakati jumlah kewajiban sebesar Rp 47.258.000.000.000 dikurangi jumlah aset sebesar Rp 18.850.000.000.000

"Sehingga besar JKPS adalah sejumlah Rp 28.408.000.000.000," kata jaksa.

Setelahnya disepakati Sjamsul akan membayar Rp 1 triliun secara tunai dan sisanya yaitu Rp 27,4 triliun melalui penyerahan aset. Namun rupanya ada kredit macet yaitu kredit petambak plasma atas piutang Rp 4,7 triliun kepada BDNI. Simpulan itu merupakan hasil dari audit Financial Due Dilligence (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & CO (Arthur Andersen).

Untuk penyelesaiannya, BPPN mengadakan rapat dengan KKSK. Namun, Syafruddin tidak memberikan laporan rinci mengenai penyelesaian permasalahan PT DCD khususnya mengenai misrepresentasi yang dilakukan oleh Sjamsul Nursalim atas nilai utang petambak plasma PT DCD dan PT WM sebesar Rp 4,8 triliun.


Selain itu, Syafruddin tidak melaporkan adanya kewajiban yang seharusnya ditanggung Sjamsul atas misrepresentasi. Syafruddin juga tidak melaporkan adanya pertemuan dengan pihak Sjamsul yang pada akhirnya mengubah misrepresentasi menjadi tidak misrepresentasi. Akhirnya KKSK mengeluarkan keputusan yang isinya salah satunya menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian Pemegang Saham dengan BPPN, berupa pelepasan dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Inpres 8 Tahun 2002 terhadap Sjamsul Nursalim.

Dalam kasus ini, Syafruddin diancam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. (fai/dhn)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads