"(Soal) anak pelaku, masih akan kita diskusikan. Tentu tidak akan mudah untuk anak itu nanti," kata Risma di ruang kerjanya di Balai Kota Surabaya, Selasa (15/5/2018).
Risma mengaku membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya. Ia pun meyakini jika doktrin kuat dari orang tuanya terkait paham radikal sudah telanjur tertanam di benak anak ini.
"Bagaimanapun, dia sudah mulai mengerti. Tapi saya akan konsultasikan dengan psikolog anak untuk penanganannya. Bagaimanapun, dia sudah tahu dan mengerti," ujar Risma.
Tak hanya anak pelaku pengeboman yang menjadi perhatian Risma. Ia juga berusaha memulihkan rasa trauma anak-anak Surabaya pascateror bom selama dua hari.
Ia juga akan berusaha semaksimal mungkin menghilangkan trauma, khususnya anak-anak, agar tidak menimbulkan kebencian mendalam.
"Tidak hanya anak itu (A). Saya yakin trauma teman sebangkunya juga merasakan. Karena sudah membuat rasa trauma, tapi saya percaya itu akan hilang seiring berjalannya waktu," ungkapnya.
Pemkot juga akan membuat trauma center untuk memulihkan kondisi psikologi anak-anak dengan menggandeng akademis. "Dulu sudah pernah saya lakukan saat AirAsia," pungkasnya.
Risma juga akan menanggung biaya pendidikan anak-anak di Surabaya yang orang tuanya menjadi korban pengeboman. Salah satunya anak Aloysius Bayu Rendra Wardhana, salah satu korban bom bunuh diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Ngagel.
"Pendidikan dua anak Bayu akan dibantu, dihitung, termasuk anak-anak yang menjadi korban" pungkasnya.
(ze/lll)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini