Meski tak merinci anak yang mana, polisi mengungkap anak-anak para teroris ini tak disekolahkan. Tujuannya menghindari interaksi dengan lingkungan dan demi penanaman doktrin.
Baca juga: Anak dalam Pusaran Terorisme |
Pelaku pengeboman, kata polisi, selalu menjawab bahwa anaknya menjalani sekolah rumah (homeschooling) saat ditanya oleh orang lain. Anak-anak juga diarahkan orang tuanya untuk menyatakan mereka menjalani homeschooling bila ada orang lain yang menanyakan soal pendidikannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anak-anak korban paham radikal orang tuanya itu tidak diberi pendidikan yang layak, melainkan hanya diberi indoktrinasi oleh orang tuanya.
"Ya hanya bapak-ibunya yang memberikan doktrin terus, dengan video-videonya, dengan ajaran-ajaran yang diberikan," ujar Machfud.
Keempat anak Dita dan istrinya, Puji Kuswati (43), berinisial YF (18), FA (16), FS (12), dan FR (9). Sedangkan anak-anak Tri belum diketahui inisialnya.
Seperti diketahui, YF dan FA mengendarai sepeda motor ke Gereja Santa Maria Tak Bercela, Surabaya. Mereka meledakkan diri di gereja itu, yang mengakibatkan 5 orang meninggal, termasuk dua anak-anak.
FS (12) dan FR (9) diajak ibunya meledakkan diri di GKI, Jl Diponegoro. Mereka bertiga meninggal di tempat. Tidak ada korban jiwa selain para pelaku di GKI.
Dalam aksi pengeboman Mapolrestabes Surabaya, Senin (14/5), Tri Murtino bersama istri dan anak-anaknya datang menggunakan dua motor. Tri membonceng anak perempuannya dan seorang anak laki-lakinya. Sementara motor yang lain dikendarai anak laki-laki Tri bersama istrinya.
Tri beserta istri dan dua putranya meninggal di tempat. Sementara itu, anak bungsu mereka diketahui terpental, tapi tidak sampai meninggal dunia.
Bocah tersebut diselamatkan oleh polisi bernama AKBP Roni. Hingga kini, bocah tersebut masih dirawat secara intensif.
Ini sosok keluarga pengebom di Gereja Surabaya:
(tor/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini