"Jadi begini, kasih saja (persoalan koruptor nyaleg) ke parpol itu. Siapa yang mau mencalonkan koruptor?," kata Yasonna di kantornya, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (19/4/2018).
Menurut Laoly, kecil kemungkinan partai politik mengusung mantan koruptor. Dia mengatakan stigma buruk mantan koruptor itu bisa membuat parpol kalah nantinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Laoly menyebut sebenarnya ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42/PUU-XIII/2015 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang bisa dilihat untuk menjawab polemik itu. Menurut Laoly, KPU hanya dapat mendesain peraturan teknis Pemilu, bukan norma hukum.
"Jadi KPU itu membuat peraturan teknis bukan norma hukum yang subtansi materinya apa. Tapi idenya sih baik. Tapi jangan sampai menabrak putusan mahkamah konstitusi. Idenya baik. Pastilah kita setuju. Tapi dia tidak boleh menabrak keputusan yang di atasnya," ujar Laoly.
Untuk diketahui, KPU tengah membahas Peraturan KPU terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi maju menjadi caleg. Usulan itu muncul menjawab fenomena banyaknya calon peserta pilkada yang berstatus tersangka.
"Nanti akan kita masukkan juga aturan, yang sebenarnya di UU tidak ada, mantan narapidana kasus korupsi dilarang nyaleg, di PKPU pencalonan caleg mau kita masukkan," ujar Komisioner KPU Hasyim Asyari pada Kamis, 29 Maret lalu. (dhn/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini