"Beberapa ketentuan dalan Perma penggantian Perma 1/2011 dapat menghambat akses para pencari keadilan," kata Bayu dalam diskusi bertajuk 'Transparansi Peradilan & Membenahi Persidangan Tertutup di Mahkamah Agung' di Sekretariat Indonesia Corruption Watch (ICW), Jl Kalibata Timur IV, Jakarta Selatan, Senin (9/4/2018).
Tiga hal yang disorot Bayu saat mendengar sedang digodoknya Perma pengganti Perma 1/2011 adalah naiknya biaya perkara, kewajiban penggugat perkara melampirkan keterangan ahli dan pendaftaran perkara harus langsung di MA.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Padahal dalam Pasal 2 Perma 1/2011, permohonan selain disampaikan langsung ke MA, dapat juga disampaikan melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan hukum pemohon. Ditambah lagi dalam Perma pengganti Perma 1/2011 tidak diatut kemungkinan pengajuan permohonan elektronik dan pemeriksaan persidangan jarak jauh seperti di MK," lanjut Bayu.
Bayu mengaku publik perlu mengetahui aturan-aturan yang kabarnya akan diberlakukan MA tersebut. Dia menyatakan publik berhak mengetahui informasi secara terbuka mengenai rancangan aturan yang sedang digodok Pemerintah, dalam hal ini MA.
"Menjadi keharusan setiap lembaga negara untuk mempublikasikan rancangan peraturan yang akan mereka bentuk. Apalagi berkaitan dengan kepentingan rakyat. Seperti membebani biaya. Pertanyaan kita apakah benar Mahkamah Agung sekarang sedang mempersiapkan itu?," ucap Bayu.
"Kami sebagai peneliti, akademisi, pengamat, mendapatkan kabar bahwa MA sedang mempersiapkan itu. Silakan Mahkamah Agung memberikan konfirmasi," sambung dia.
Baca juga: Setara: MA Jauh Lebih Buruk Dibanding MK |
Masih kata Bayu, berdasarkan catatannya, MA sudah seperempat abad menangani masalah hak uji materiil. Namun, belum ada putusan MA yang menghasikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat.
"2018 Ini adalah 25 tahun kewenangan judicial review di MA. Meskipun hak uji meteriil sudah ada sejak 1949, dan diatur kembali tahun 1970'an. Namun perkara uji materiil baru muncul 93. Ini sudah berlangsung seperempat abad. Namun harus kita akui, putusan MA terkait judicial review belum menghasilkan dampak yang signifikan di masyarakat," ungkap dia.
Bayu mengambil contoh terdekat, yaitu keputusan MA terkait polemik taksi online. Menurutnya keputusan MA tak menyelesaikan masalah.
"Contoh taksi online, itu ada sebab Mahkamah Agung dalam konteks tidak selesainya juga urusan regulasi taksi online. Ketika Pemerihtah sebagai regulator membuat Permenub 26/2017 kan sebenarnya lahirnya Permenhub untuk mengatur ketertiban dan itu ditolak mitra taksi online. Ujungnya ke MA dengan menguji Permehub," jelas Bayu.
Dalam penanganan uji materiil Permenhub itu, Bayu melanjutkan, MA secara tiba-tiba membatalkan beberapa ketentuan yang telah diatur dalam Permenhub 26/2017.
"Keluarlah keputusan MA tiba-tiba. Pemerintah membuat Permen 108/2017 yang isinya pengganti Pemenhub 26/2017, yang isinya terdapat ketentuan yang dibatalkan MA. Loh kok dimasukan kembali? Alasan Pemerintah gampang, mereka bilang tidak pernah diundang dalam persidangan. Jadi carut-marut taksi online itu," tandas Bayu.
Bayu menyimpulkan kunci dari permasalahan di MA itu adalah kurangnya keterbukaan kepada masyarakat. Dia mengatakan sidang MA yang bersifat tertutup membuat para pihak tak dapat memberikan argumentasi yang maksimal dan meyakinkan hakim.
"Proses pengujian di MA berbeda dengan pengujian di MK. Proses pengujian di MA tidak dilaksanakan terbuka. Pemohon tidak mengetahui secara pasti tahapan dan proses pengujian sehingga para pihak juga tak dapat memberikan argumen untuk memperkuat permohonan," tutup Bayu. (aud/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini