Berdasarkan aturan, MK melakukan judicial review UU atas UUD 1945, sedangkan MA melakukan judicial review peraturan di bawah UU atas UU.
![]() |
"Di MK itu mekanismenya terbuka, ada kontestasi gagasan, orang bisa berdebat, (sedangkan) di MA kan tidak. Saya sebagai pihak yang berperkara pun, kadang tidak tahu sebenarnya kapan sih hakim menyidangkan perkara saya. Tahu-tahu putusannya tiba dan itu pun kita lihat di website, misalnya gitu," ungkap Direktur Setara Institute Ismail Hasani di kantornya, Jalan Hang Lekir II nomor 41, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (20/8/2017).
Bila diminta terbuka, MA berdalih dengan doktrin yang dibuatnya sendiri.
"Tetapi MA punya alasannya sendiri dengan doktrin-doktrinnya sendiri sehingga seringkali makna (sidang) terbuka, peradilan terbuka, itu hanya dia maknai ketika bersidang pintunya dibuka. Itu artinya apa? Orang yang bisa lewat itu sebetulnya dia bisa mengakses. Padahal, yang kita dorong adalah ada keterbukaan, ada kontestasi gagasan di mana semua orang bisa mengkontrol," papar Ismail.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Ia pun menyarankan agar MA mencontoh MK, khususnya soal menggelar sidang secara terbuka.
"Jadi, salah satu isu yang kita dorong di MA adalah sidang terbuka judicial review. Jadi, si MA harusnya mengadopsi cara yang sama dengan MK," sebutnya. (hld/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini