Sidang Tertutup, Ahli: Mahkamah Agung Bergaya Lama, Tertinggal

Sidang Tertutup, Ahli: Mahkamah Agung Bergaya Lama, Tertinggal

Audrey Santoso - detikNews
Senin, 09 Apr 2018 12:42 WIB
Diskusi tentang sidang MA di ICW (audrey/detikcom)
Jakarta - Ahli hukum dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari, mengkritik proses beracara judicial review di Mahkamah Agung (MA) yang berlangsung tertutup. Dia berpendapat semakin tertutupnya persidangan, maka semakin liar peluang terjadinya perilaku koruptif.

"Saya agak khawatir, jangan-jangan dengan tertutupnya Mahkamah Agung, proses transaksi akan semakin liar. Bukan tidak mungkin," kata Feri.

Hal itu disampaikan dalam diskusi bertajuk 'Transparansi Peradilan & Membenahi Persidangan Tertutup di Mahkamah Agung' di Sekretariat ICW, Jl Kalibata Timur IV, Jakarta Selatan, Senin (9/4/2018).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Feri menduga sidang dibuat tertutup untuk menghindari pengetahuan publik terhadap perkembangan perkara yang diadilkan di MA. Jika terbuka, lanjut Feri, maka publik memiliki ruang untuk mengkritisi proses pengambilan keputusan hakim MA.

"Karena begitu peradilan dibuka, ditemukan fakta-fakta baru di luar berkas, kemudian ternyata Mahkamah Agung berbeda saat nemutuskan perkara, maka pihak-pihak akan bertanya. Kita tahu bahwa dalam perkara, yang benar itu yang di persidangan, bukan yang di atas kertas," jelas Feri.


Dia menilai gaya pengadilan tertutup ini membuat Mahkamah Agung berjarak dengan para pencari keadilan.

"Mahkamah Agung terlalu jauh dengan yang di sekitarnya, publik yang mencari keadilan," sambung dia.

Feri juga menyoroti pengajuan uji materiil terhadap perundang-undangan di bawah undang-undang yang berbayar di Mahkamah Agung (MA). Dia membandingkan dengan proses uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MKA) yang tak dipungut biaya.

"Kalau ada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang bermasalah, kan korbannya masyarakat menengah ke bawah. Bagaimana mereka bisa meminta keadilan di Jakarta kalau bebannya Rp 2 juta? Sementara Mahkamah Konstitusi tidak ada biayanya. Mestinya Mahkamah Agung melihat, terjadi perubahan yang besar, biaya admin begitu. Kecuali perkara perdata," terang Feri.

"Beban biaya ini jadi masalah dalam mencari keadilan. Mahkamah Agung sudah harus membenahi diri, memodernisasi diri. Sekarang hakim agung sudah 53 orang, tapi kita nggak bisa lihat proses persidangannya, padahal gedungnya besar," lanjut dia.


Dia menyebut masyarakat saat ini masih kesulitan dalam mencari keadilam di MA.

"Mahkamah Agung masih bergaya lama, tertinggal, begitu-begitu saja. Tidak ada keterbukaan sehingga para pencari keadilan sulit mengakses untuk membela dirinya," tutup dia. (aud/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads