"Seharusnya revisi UU Terorisme lebih bicara aspek persuasif seperti deradikalisasi," kata Al Araf dalam perbincangan, Rabu (14/3/2018).
Selain itu, kata Al Araf, UU terorisme juga semestinya fokus pada perbaikan tata penegakan hukum. Sinergi antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan menurutnya mesti diperbaiki.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan pelibatan militer dalam penanganan terorisme, menurutnya, tak dibutuhkan. "Bukan malah memperkuat instrumen represif dengan melibatkan militer. Itu sesuatu yang menurut saya tidak dibutuhkan," ucap dia.
Sebagaimana diketahui, wacana pelibatan militer dalam penanganan terorisme ramai dibahas saat Jenderal Gatot Nurmantyo menjabat sebagai Panglima TNI. Saat itu, dia ingin definisi terorisme dinilai sebagai kejahatan terhadap negara.
Menurut Al Araf, terorisme tetap masuk ke dalam kategori kejahatan tindak pidana. Sehingga tak semestinya militer ikut terlibat.
"Definisi terorisme harus tetap sebagai satu kejahatan tindak pidana. Karena terorisme itu trans organize crime. Maka penanganannya melalui criminal justice system yang di dalamnya melibatkan polisi, jaksa, hakim," ujar dia.
"Jangan sampai definisi terorisme menjadi bagian keamanan negara, keamanan nasional. Tapi kejahatan tindak pidana. Persis seperti definisi sebelumnya," sambung Al Araf. (jbr/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini