The Power of Emak-emak Melawan Sengketa 'Privatisasi' Pulau Pari

The Power of Emak-emak Melawan Sengketa 'Privatisasi' Pulau Pari

Aditya Fajar Indrawan - detikNews
Selasa, 21 Nov 2017 09:59 WIB
Ibu-ibu yang melakukan aksi menolak pemasangan plang di Pulau Pari
Jakarta - Kedamaian warga di Pulai Pari, Kepulauan Seribu, mendadak terusik. Warga memprotes keras pemasangan plang oleh polisi yang berujung kericuhan.

Kericuhan di Pulau Pari itu terekam dalam sejumlah video yang beredar. Peristiwa ini berawal saat warga emosi karena isu penguasaan lahan Pulau Pari oleh perusahaan, yakni PT Bumi Pari.

Bahkan seorang nelayan kecil di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, Edi Priadi (65), harus mendekam di penjara karena diduga menyerobot tanah milik perusahaan swasta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Video 20Detik: Saat Emak-emak di Pulau Pari Protes Keras

[Gambas:Video 20detik]



"Pak Edi menggarap tanah itu sejak tahun 1999, dengan izin kepada RT setempat dan tidak ada penguasaan. Tapi, pada tahun 2015, perusahaan datang mengklaim bahwa lahan itu miliknya," ujar kordinator tim advokasi dari LBH Rakyat Banten, Tigor Hutapea, di kantor Walhi, Jalan Tegal Parang Utara, Jakarta Selatan, Senin (30/1) lalu.

Dari kejadian itu, disebutkan perusahaan telah mengklaim 90 persen tanah di Pulau Pari. "Sekarang ini semakin masif tindakan perusahaan, yaitu ingin mengembangkan resor dan membuat hotel-hotel di pulau tersebut. Mereka telah mengklaim 90 persen tanah adalah milik perusahaan," lanjutnya.


Kejadian itu pun sampai ke telinga Bupati Kepulauan Seribu Budi Utomo, yang membantah Pulau Pari telah dikuasai perorangan. Ia menyatakan dengan tegas 40 persen lahan pulau milik Pemprov DKI Jakarta.

Adapun 10 persen dari pulau seluas 42 hektare itu digunakan untuk penelitian dan sisanya digunakan untuk sektor wisata serta penduduk. Budi mengakui saat ini ada konflik status tanah dan telah berlangsung sejak 1980-an antara warga dan pengembang resor.

Plang yang dipasang polisi di Pulau Pari.Plang yang dipasang polisi di Pulau Pari. (Istimewa)

Warga kembali menunjukkan sikap penolakan terhadap privatisasi lahan Pulau Pari. Bambu-bambu runcing dipasang di depan rumah mereka. Hal itu dimaknai sebagai simbol perjuangan hak atas tanah yang telah mereka tempati.

"Baru seminggu ini (dipasang). Tapi itu (bambu runcing, red) kan cuma simbol saja. Bukan sebagai bentuk senjata untuk melawan. Simbol yang diletakkan di depan rumah bahwa warga menolak privatisasi, bukan untuk mempersenjatai diri, nggak," kata Koordinator Tim Advokasi LBH Rakyat Banten Tigor Hutapea saat dihubungi, Jumat (3/3).


Konflik terus berlanjut, warga Pulau Pari mengadu ke Ombudsman RI. Dalam aduannya, mereka mengaku sering mendapat berbagai intimidasi terkait sengketa tanah ini. Salah satu warga Pulau Pari yang mendapat somasi (peringatan) dari PT Bumi Pari, Sahrul, yang disampaikan melalui petugas keamanan perusahaan, diminta meninggalkan rumahnya dalam 1x24 jam. Dia merasa heran karena, menurutnya, tanah tersebut milik warga yang selalu dijaga dan dirawat.

"Sekuriti selalu datang untuk mengintimidasi warga dan selalu begitu sampai kriminalisasi terus-menerus. Pada waktu itu, kami mencoba minta bantuan tim lembaga bantuan hukum Jakarta," ujar Sahrul.

Warga yang protes terlibat dorong-dorongan dengan polisi.Warga yang memprotes terlibat dorong-dorongan dengan polisi.


Bentuk intimidasi tak berhenti sampai di situ. Tiga nelayan Pulau Pari, yakni Mustaghfirin alias Boby, Bahrudin alias Edo, dan Mastono alias Baok, ditangkap Tim Saber Pungli Polres Kepulauan Seribu atas dugaan melakukan pungli kepada wisatawan Pantai Perawan. Ketiganya minta donasi kepada wisatawan sejumlah Rp 3.500-5.000 per hari, yang datang ke Pulau Pari. Sesuai aturan, perbuatan mereka meminta donasi dianggap melanggar hukum. Atas perbuatannya, mereka diproses secara hukum.

Dalam persidangan hakim H Agusti menyatakan ketiga nelayan itu bersalah. Mereka divonis 6 bulan penjara. Hakim juga menyita barang bukti Rp 945 ribu dari para pelaku.

"Menyatakan barang bukti uang tunai Rp 945 ribu dirampas untuk negara," kata hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), Jl Gajah Mada, Selasa (7/11).


Dalam sebuah diskusi publik, Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan pihaknya belum memberikan izin soal privatisasi Pulau Pari. Menurut KKP, hanya 70 persen wilayah yang boleh dimanfaatkan pada pulau kecil, termasuk Pulau Pari, sementara 30 persen lain harus digunakan untuk publik.

"Pulau yang bisa dimanfaatkan 70 persen, sisanya, 30 persen, untuk publik. Bagaimana kebijakan pengelolaan pulau kecil yang digagas KKP, kita sudah punya pandai hukum sejak 2007, kita punya undang-undang tentang pesisir," kata Kasubdit Pengolahan Ekosistem Pulau-pulau Kecil KKP, Ahmad Aris, dalam diskusi di Bakoel Koffie, Jalan Raya Cikini Nomor 25, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/10).

Konflik panjang itu terus berlanjut hingga terjadi kericuhan warga yang menolak pemasangan plang oleh pihak kepolisian, pada Senin, 20 November 2017.

Warga, termasuk ibu-ibu, terluka akibat kericuhan ini. "Akibat dari bentrok itu, 15 orang warga mengalami luka-luka. Ibu-ibu yang terkena pukulan akibat bentrok juga sedang dirawat sampai dioksigen," kata Tigor Hutapea, anggota Selamatkan Pulau Pari.

Kabag Ops Polres Kepulauan Seribu Kompol I Wayan Canteng menjelaskan pemasangan plang itu dilakukan menyusul putusan praperadilan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pengadilan memutuskan penetapan tersangka terhadap seorang warga Pulau Pari bernama Catur Sulaiman sah.

"Objek permasalahannya kan tanah dan bangunan itu. Kita sudah dapatkan izin dari Pengadilan Negeri penetapannya. Biar objek ini aman dan diawasi, dipasang plang sesuai dengan penetapan pengadilan," tuturnya. (aan/fjp)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads