Seperti dilansir media Singapura, Channel News Asia, Selasa (5/9/2017), kapal penyelamat bernama Phoenix ini merupakan milik organisasi kemanusiaan Stasiun Bantuan Migran Lepas Pantai (MOAS). Kapal itu sebelumnya membantu menyelamatkan 40 ribu imigran, terutama anak-anak dan wanita, di Mediterania.
"Akan dikerahkan untuk misi kedua di Teluk Benggala (dekat Myanmar) untuk menyalurkan bantuan dan membantu orang-orang rentan yang terdampak kekerasan yang terus berlangsung," tutur salah satu pendiri dan Direktur MOAS, Regina Catrambone.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Catrambone menyatakan, keputusan untuk mengerahkan kapal penyelamat ini ke perairan Myanmar juga didasari oleh suasana yang tidak jelas di Libya, yang menjadi tujuan para imigran di Mediterania.
"Kami akan memindahkan operasi kami ke Asia Tenggara, bekerja untuk menyalurkan bantuan dan membantu warga Rohingya, yang disebut oleh PBB sebagai 'minoritas paling teraniaya di dunia'," tutur Catrambone.
"Paus Fransiskus baru-baru ini menyerukan komunitas internasional untuk mendukung saudara Rohingya kita, yang terjebak di antara konflik, penindasan dan pelanggaran HAM yang terus meluas," imbuhnya.
Konflik terbaru pecah di negara bagian Rakhine, Myanmar pada 25 Agustus lalu, saat kelompok militan Rohingya atau ARSA menyerang puluhan pos kepolisian dan sebuah pangkalan militer Myanmar. Serangan itu memicu operasi militer di Rakhine yang menewaskan 400 orang dan memicu eksodus warga Rohingya.
"Seperti saya tuliskan, terjadi eksodus besar-besaran di perbatasan Bangladesh dan Myanmar. Dalam beberapa hari terakhir saja, ribuan warga Rohingya yang tanpa kewarganegaraan melarikan diri ke negara tetangganya Bangladesh untuk menyelamatkan diri. Banyak yang meninggal dalam pelarian dan kebutuhan untuk bantuan kemanusiaan semakin membesar," tandas Catrambone.
(nvc/nkn)