Ratusan warga Rohingya di Rakhine tewas sejak operasi militer Myanmar dilancarkan pada Oktober 2016. Nyaris 70 ribu warga Rohingya lainnya mengungsi ke Bangladesh, untuk menghindari praktik kekerasan yang mewarnai operasi militer yang disebut bertujuan mencari penyerang pos kepolisian Myanmar itu.
Laporan kantor HAM PBB, beberapa waktu lalu, menyebut tentara dan polisi Myanmar melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan bergiliran terhadap warga Rohingya di Rakhine. Laporan itu didasarkan pada keterangan warga Rohingya yang berhasil mengungsi ke Bangladesh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Myanmar Segera Selidiki Dugaan Tindak Kriminal terhadap Rohingya
Dalam keterangannya, seperti dilansir Reuters, Kamis (16/2/2017), kantor pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menyatakan tentara Myanmar telah mengakhiri operasi mereka di Rakhine. Untuk selanjutnya, Rakhine berada dalam pengawasan kepolisian Myanmar.
"Situasi di Rakhine bagian utara kini telah stabil," sebut Penasihat Keamanan Nasional Myanmar, Thaung Tun, dalam pernyataannya.
"Operasi pembersihan yang dilakukan oleh militer telah dihentikan, jam malam telah dicabut dan di sana hanya tinggal ada kepolisian untuk menjaga perdamaian," imbuhnya.
Baca juga: Pria Rohingya Divonis Mati Atas Penyerangan Pos Polisi Myanmar
Terkait penyelidikan laporan praktik kekerasan di Rakhine, otoritas Myanmar telah menugaskan sebuah komisi khusus yang dipimpin Wakil Presiden Myint Swe. Thaung Tun menambahkan, proses penyelidikan terus berlangsung.
"Kami telah menunjukkan bahwa kami siap bertindak ketika ada bukti jelas memang terjadi penganiayaan," ucapnya.
Lebih dari sejuta warga Rohingya tinggal di Rakhine selama bertahun-tahun. Mereka diperlakukan sebagai imigran ilegal asal Bangladesh dan tidak diakui sebagai warga negara oleh pemerintah Myanmar. Konflik antara Rohingya dengan warga mayoritas Buddha yang terjadi tahun 2012, telah memaksa puluhan ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
(nvc/ita)











































