Seperti dilansir AFP, Rabu (13/7/2016), Presiden Tsai Ing-wen mengantarkan personel militer Taiwan hingga ke geladak kapal perang, sembari menyatakan Taiwan bertekad mempertahankan hak negara mereka. Kapal perang Taiwan itu kemudian berlayar kota Kaohsiung, Taiwan bagian selatan menuju ke Pulau Taiping, yang dikuasai Taiwan di gugusan kepulauan Spratly, Laut China Selatan.
Baca juga: AS: Putusan Arbitrase Soal Laut China Selatan Mengikat Secara Hukum
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Krusialnya bagi Taiwan, putusan itu juga mengatur soal Pulau Taiping yang dikuasai Taiwan di Laut China Selatan. Taiping merupakan pulau terbesar dalam gugusan kepulauan Spratly. Putusan itu menyebut Taiping secara hukum sebenarnya sebuah 'batu' yang tidak memberikan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) bagi Taiwan di perairan sekitarnya.
Baca juga: Enggan Akui Putusan Mahkamah Arbitrase, China Tetap Uji Terbang di Pulau Buatan
Pemerintah Taiwan menyebut putusan PCA tidak bisa diterima sepenuhnya dan tidak mengikat secara hukum. Taiwan beralasan, PCA tidak mengundang Taiwan secara resmi untuk hadir dalam sidang maupun menyampaikan pandangannya.
"Putusan soal Laut China Selatan, khususnya soal kategorisasi Pulau Taiping, telah membahayakan hak negara kita atas pulau-pulau di Laut China Selatan dan perairan sekitarnya. Misi patroli ini akan menunjukkan tekad rakyat Taiwan dalam membela hak negara mereka," tegas Presiden Tsai.
"Mempertahankan wilayah dan kedaulatan Taiwan dengan tegas," demikian pernyataan Kementerian Pertahanan Taiwan, sembari menyatakan tidak akan ada perubahan atas klaim Taiwan usai putusan PCA.
Baca juga: Ini Putusan Lengkap Mahkamah Arbitrase soal Laut China Selatan
Kementerian Pertahanan Taiwan menegaskan akan terus mengerahkan pesawat dan kapal untuk menjalankan misi patroli di perairan itu, juga tetap
waspada dalam menjaga keamanan nasional.
Presiden Taiwan sebelumnya, Ma Ying-jeou, mengunjungi Taiping pada Januari 2016 lalu untuk menegaskan klaim Taiwan dan menunjukkan bahwa Taiping adalah pulau, bukan hanya batu. Langkah itu memicu kritikan Amerika Serikat juga protes dari Vietnam dan Filipina. Gugusan Kepulauan Spratly juga diklaim oleh China, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.
(nvc/nwk)